Diskusi ini membahas berbagai faktor yang memengaruhi pasar saham Indonesia, mulai dari kebijakan moneter global, dinamika politik internasional, hingga strategi investasi saham di tengah tekanan pasar. Berikut adalah rangkuman poin-poin penting dari T-Talks kali ini:
Sentimen Makro
- The Fed diprediksi akan memangkas suku bunga sebesar 0,75% pada tahun 2024. Namun, dampaknya terhadap pasar Indonesia masih minim. Investor global biasanya merespons lebih awal sebelum keputusan diumumkan, sehingga ketika kebijakan resmi diterapkan, pasar cenderung biasa saja atau bahkan mengalami koreksi. Ketua The Fed, Jerome Powell, juga memberikan sinyal bahwa bank sentral tidak akan terburu-buru menurunkan suku bunga lebih lanjut. Pernyataan ini memperlemah pasar karena investor mulai jenuh dengan ekspektasi kebijakan moneter yang stagnan.
- Di sisi lain, langkah Indonesia bergabung dengan BRICS juga memengaruhi daya tarik investasi asing. Pasar global melihat keputusan ini sebagai sikap yang berseberangan dengan Amerika Serikat, terutama setelah terpilihnya Donald Trump yang tidak mendukung hubungan ekonomi dengan negara-negara BRICS.
- Kenaikan PPN menjadi 12% memiliki dampak yang beragam. Jika kebijakan ini diterapkan, pasar mungkin bersikap netral, tetapi jika dibatalkan, akan memberikan sentimen positif bagi saham domestik.
- Pemerintah juga menerapkan berbagai kebijakan seperti makan gratis, rumah subsidi, dan kenaikan gaji buruh untuk meningkatkan daya beli masyarakat. Kebijakan ini dinilai mendukung pasar saham domestik, meski perlu diperbaiki dari segi komunikasi untuk mencegah kepanikan investor.
- Saat ini, sekitar 30% volume perdagangan di IHSG berasal dari passive fund yang menggunakan metode indexing. Saham-saham yang tergabung dalam indeks MSCI menjadi perhatian utama investor. Jika suatu saham dikeluarkan dari MSCI, seperti yang diproyeksikan pada MDKA, UNVR, dan INKP, maka aksi jual asing dapat memicu penurunan indeks lebih lanjut.
- Sebaliknya, saham konglomerasi seperti BREN diprediksi akan masuk MSCI pada Maret mendatang, mengingat tren nilai perdagangan dan free float-nya yang meningkat. Saham-saham seperti BRIS dan RAJA juga memiliki potensi yang sama jika memenuhi kriteria MSCI.
- Michael Yeoh memberikan pandangannya terkait penurunan saham big banks, khususnya BBRI. Ia mencatat bahwa koreksi saham BBRI mencapai titik all-time low sejak 2022, dengan penurunan hampir 30% pada tahun 2024 (tepatnya 27,28%). Angka ini jauh lebih besar dibandingkan koreksi sebesar 5,24% pada masa pandemi COVID-19, mencerminkan tekanan pasar yang semakin kuat.
- Ia menekankan bahwa untuk saham perbankan seperti BBRI, proses pemulihan membutuhkan waktu. Target harga di level 4.000 dipandang sebagai tonggak penting, tetapi perlu ada sentimen positif yang mendukung. Penurunan saham BBRI juga berdampak pada indeks MSCI, karena aksi jual oleh investor asing yang menggunakan strategi passive fund. Hal ini memengaruhi struktur indeks dan semakin menekan saham big banks.
- Dengan situasi ini, Michael Yeoh menyarankan pendekatan "wait and prepare" untuk sektor perbankan. Menurutnya, meskipun saham big banks sedang dalam tekanan, ada peluang pemulihan jika strategi dan kebijakan yang tepat diterapkan untuk memulihkan kepercayaan investor.
- Michael Yeoh menyarankan fokus pada saham-saham yang berpotensi masuk ke passive fund dan indeks MSCI, karena tren ini semakin mendominasi perdagangan pasar. Beberapa saham yang disorot adalah:
- BRIS: Potensial masuk MSCI jika harga mencapai level 4.000.
- RAJA: Memiliki target harga 25.000 dengan free float yang atraktif.
- BREN: Saham konglomerasi ini memiliki peluang besar untuk masuk MSCI.
- ADRO: Saham sektor tambang ini menarik jika stimulus dari China mendukung harga komoditas.
- PGAS: Menunjukkan pola kenaikan dengan target harga di 2.000 setelah konsolidasi di 1.600-1.700.
- Selain itu, saham seperti BUMI, dan BRMS juga menjadi perhatian, terutama jika harga komoditas seperti batu bara mengalami kenaikan.