Seharusnya Saya Tahu
07 February 2022
Sudah terlanjur janji di tulisan sebelum ini, untuk menceritakan kegagalan spektakuler saya waktu itu mencoba meyakinkan seorang teman soal bahaya yang mengintip di balik produk-produk finansial aneh.

Saya bukan hanya gagal total dalam misi ini. Malahan sang teman suka kirim-kirim ke saya betapa gaya hidup sang “manajer investasi” itu begitu kesultan-sultanan. Implying saya harus ngiri dengan gaya hidup tersebut. 

Sewaktu saya gagal ngiri, update soal gaya hidup para ketua sekte roboforex ini makin intens dilakukan. Seolah saya telah mengusik harga diri terdalamnya.

Seorang sahabat juga pernah mencoba mengingatkan mereka yang terseret ke jerat produk-produk aneh ini. Respons yang ia dapatkan juga begitu keras. Dibilang bahwa peringatan sahabat saya ini dilandasi oleh rasa iri yang besar. Nggak jelas juga iri sama apa, tapi itu tidak penting. 

Ada banyak cerita ganjil seputar produk-produk ganjil ini. Misalnya kisah bon hotel sebagai rekam jejak foya-foya dibagikan dengan bangga di sosial media. Juga pamer tempat hangout dan outfit, menjadi menu wajib.

Keanehan tidak berhenti sampai di sana. Saat operasi mereka mulai dibekukan otoritas, banyak kaum penanam modal yang sedang merugi malah membela dengan militan. 

Narasi-narasi teori konspirasi pun disebar dan bersambut. Malah ada yang berupaya menggalang massa dan siap berorasi. Entah ke siapa orasi ditujukan. Pastinya bukan ke robot trading

Soal teori konspirasi itu sendiri, harus diakui sangat kreatif. Mulai dari teori bahwa pemerintah nggak happy karena gagal memungut pajak sampai teori konspirasi geopolitik yang lebih seru daripada teori bahwa Jay-Z adalah vampir penjelajah waktu.

Balik ke teman saya si penanam modal roboforex.

Ia adalah seorang yang bisa dibilang intelek dan berpendidikan tinggi. Punya bisnis yang akan membuat setiap orang tua bangga. 

...
Hampir tidak ada yang eksentrik dalam hidupnya, kecuali kaos kakinya yang suka beda warna. Tentu tidak cukup alasan buat saya untuk bisa begitu saja menerima kegagalan saya dalam meyakinkan sang teman. Akhirnya saya coba untuk terus menggali dan mencari tahu. Minimal saya akan lebih terhibur. 

Salah satu teori yang mungkin bisa saya pakai untuk menjelaskan fenomena ini adalah teorinya Daniel Kahneman, psikolog yang pernah memenangkan hadiah Nobel (di bidang ekonomi!) dan penulis buku wajib baca buat kalangan investor Thinking, Fast and Slow

...
Kahneman menolak untuk membiarkan apa yang ia percayai menjadi bagian dari identitasnya. Baginya, kesetiaan pada ide-ide tidak bersifat mutlak. Cinta sejati itu buat the loved ones, bukan buat ide-ide kita.  

Di mata seorang Kahneman, faktor yang paling menghambat untuk mengenali bahwa opini kita sedang salah jalur dan sudah waktunya untuk berpikir ulang adalah attachment, kaitan yang begitu emosional dan intens akan sesuatu. 

Sekali lagi meminjam kerangka berpikir Adam Grant, thought leader dan profesor perilaku organisasi dari Wharton School of the University of Pennsylvania, ada dua langkah anti-attachment yang bisa menjadi obat yang ampuh (Think Again, Adam Grant 2021). 

Yang pertama adalah memisahkan diri dari masa lalu. Pada saat kita bersedia berpikir bahwa hidup kita sedang beralih arah dan kita sedang dalam proses berpindah gigi untuk menemukan jati diri, akan jauh lebih mudah untuk terlepas dari ide lama yang jelas-jelas salah. 

Ray Dalio, founder dari hedge fund Bridgewater Associates pernah bilang bahwa kalau kita melihat kilas balik hidup kita dan gagal bilang “Wow, bodoh sekali saya setahun yang lalu”, maka kita sedang tidak belajar apa-apa setahun terakhir ini. 

Yang kedua adalah memisahkan opini dari identitas kita. Ini yang mungkin lebih sulit. Soalnya kita sudah terbiasa mendefinisikan diri kita dalam bentuk keterkaitan kita dengan kepercayaan, ide, dan ideologi. Problemnya di mana?

Problem akan lahir di saat kita ngotot tidak bersedia mengubah pendapat padahal dunia sedang berubah dan ilmu pengetahuan semakin berkembang. Kengototan ini bermuara pada kita akan menganggap opini kita sebagai hal yang suci dan kita mulai menyerang pendapat yang berseberangan. 

Ego totaliter kita akan melawan, bukti-bukti berseberangan mulai kita berangus, dan pintu pembelajaran pun akan kita tutup. Uniknya, makin kacau opini tersebut, cenderung kita akan makin habis-habisan berusaha membela. 

Siapa kita, seharusnya adalah pertanyaan tentang nilai-nilai kita, bukannya opini atau apa yang kita percayai. Mendasarkan identitas pada nilai-nilai utama dalam hidup memungkinkan kita untuk bisa lebih terbuka dan fleksibel untuk memperbaharui karya seiring dengan fakta yang ada. 

Pada akhirnya, kita toh tidak terlahir dengan opini ini. Kita memiliki kontrol penuh atas apa yang kita mau percayai. 

Seandainya saja pada waktu itu saya paham akan hal-hal di atas…. bukannya mempersekusi opini teman saya, yang telah menjadikan opini soal produk finansial aneh sebagai bagian dari identitasnya. 

Seharusnya saya mulai perbincangan dengan mencari common ground, titik temu. Mencoba untuk meyakinkan bahwa sebenarnya ketidaksetujuan ini tidak sebanyak yang kita kira. Dan bersedia menunjukkan keterbukaan. Misalnya dengan mengakui sangat mungkin ada robot kuantitatif yang jagoan trading. Mungkin bukan soal robotnya yang aneh….tapi soal perilaku pemimpin sektenya. 

Makin penting sebuah topik bagi seseorang, makin penting juga kualitas argumen, dan makin tidak penting kuantitas argumen tersebut. 

Satu argumen mungkin lebih efektif untuk mengubah pendapat. Dua argumen mungkin kebanyakan. Satu argumen terasa seperti perbincangan. Beberapa argumen sekaligus terasa seperti sedang ngajak ribut dan berantem.

Pada akhirnya, orang yang paling efektif untuk mengubah pendapat teman saya adalah dirinya sendiri. Bukan saya. 

Tugas saya mungkin hanya menunjukkan, melalui pertanyaan open ended, bahwa ada kemungkinan opini teman saya mungkin sedang salah. Rasa ingin tahunya sendiri yang akan membereskan sisanya. 

Seharusnya saya tahu. 

...
You must not fool yourself - and you are the easiest person to fool” 

Richard Feynman

Baca juga : Scorecard Anti Bodong


Written by Wuddy Warsono, CFA
List of Authors
Subscribe
Get up-to-date information by signing up for our newsletter
Contact Us
We are happy to answer any questions you may have
Address
Sahid Sudirman Center
Jalan Jend. Sudirman Kav.86, Lantai 12
Karet Tengsin, RT.10/RW.11
Daerah Khusus Ibukota Jakarta
10220