Minggu lalu, saya ke Bali untuk
menghadiri sebuah forum investasi pasar modal. Tentunya Bali sebagai pilihan
lokasi acara ini memiliki daya tarik sendiri.
Salah satu kegiatan favorit saya di
Bali adalah mencoba makanan mancanegara. Karena banyak ekspat tinggal di Bali
dan karena super ketatnya kompetisi, kualitas makanan di Bali seringkali sangat
tinggi.
Kali ini, sesampainya di Bali, saya
melihat restoran India dengan desain bangunan dan interior yang sangat cantik.
Bersama dua kolega dari Jakarta, saya tergoda melongok ke dalam. Kok sepi?
Kami pikir mungkin faktor harga yang
mungkin masuk kategori ugal-ugalan. Setelah kami cek di Zomato, ternyata
harganya normal-normal saja.
Kebetulan,
feedback restoran
ini di Zomato tidak banyak tersedia. Komentarnya juga datar-datar saja, jadi
agak susah ditebak.
Tapi karena desain restoran ini
begitu cantik, saya tahu saya akan menyesal kalau tidak mencoba. Apalagi
makanan India termasuk salah satu favorit saya. Dan saya juga memang sedang
lapar. Jadi akhirnya saya dan dua kolega dari Jakarta memutuskan untuk mencoba.
Ketika kami masuk, seperti
pengamatan dari luar tadi, restoran ini memang sepi. Malahan kami ternyata
satu-satunya tamu di sana. Kamipun bertanya-tanya, apa mungkin kami datang
sedikit terlalu pagi?
Hanya ada satu
waiter, pria
ramah berusia 40-an tahun. Dia terlihat agak kaget melihat kami datang. Entah
mengapa.
Karena kami satu-satunya tamu saat
itu,
waiter ini dapat meluangkan banyak waktu untuk kami. Setelah
dipersilakan duduk, sang
waiter menyambut kami dengan pertanyaan yang
tidak lazim:
“Maaf, ini restoran makanan India.
Kalau mau makanan barat, adanya di restoran sebelah. Mungkin salah restoran?”
Rada-rada heran dengan sambutan ajaib
tadi, kami hampir serempak menjawab bahwa kami memang sedang ingin mencoba
makanan India: Sang
waiter keliatan takjub dengan jawaban kami. Entah
mengapa.
Selanjutnya menu restoran diberikan
kepada kami. Setelah mengetahui sang
waiter sudah lama bekerja di sana,
kamipun minta masukan dia mengenai menu favorit di sana.
Jawabannya lagi-lagi ajaib.
Sang
waiter, dengan kombinasi
agak antusias dan setengah bingung, membacakan hampir semua menu di buku
menu.
Karena makin bingung, kami mencoba
mempertajam pilihan. Kami bertanya, kalau
butter nan (mirip dengan roti
tetapi di-
baked dalam
tandoor yang bentuknya silinder) sebaiknya
dikombinasikan dengan apa?
Jawabannya seperti tebak-tebakan: “
hmmmmm.....mungkin
dengan
mutton briyani (nasi briyani dengan daging kambing)”.
Kami merasa kombinasi karbo dengan
karbo ini sepertinya kurang pas dan akhirnya minta dipanggilkan
chef-nya
untuk membantu memilih menu yang tepat.
Ternyata
chef-nya masih muda.
Orangnya keren. Dari India. Dengan simpatik dan sabar, dia menjelaskan pilihan
menu. Akhirnya kamipun selesai memilih.
Selama menunggu, kami mulai khawatir
jangan-jangan makanannya kurang enak. Kok kami masih satu-satunya tamu di sana.
Dan
waiter yang seharusnya sudah berpengalaman nampak belum paham soal
pilihan menu.
Tapi yang menenangkan kami, bau
masakan dari dapur sangat menggoda selera makan. Nggak mungkin nggak enak,
pikir kami. Tapi kok sepi. Dan kok
waiter-nya ajaib begitu.
Begitu makanan tiba, kami mencoba
perlahan-lahan. Berdebar-debar. Ternyata...luar biasa nikmat. Salah satu
makanan India terbaik yang pernah saya coba.
Butter nan-nya
juga sangat spesial. Tidak terlalu empuk dan tidak terlalu keras. Pas. Saya
jadi teringat perkataan teman saya yang asli India. Bahwa hanya
chef
yang sangat berpengalaman yang bisa membuat
nan dengan sempurna.
Saking sukanya, kami minta tambahan
butter
nan-nya.
Waiter kami tercinta tampak amat heran dengan permintaan
ini. Sorot matanya seolah bertanya “nggak salah?”. Entah mengapa.
Tapi kami tidak peduli. Belum pernah
makan
nan seenak ini. Dengan
backdrop suasana restoran yang luar
biasa pula.
Terakhir, setelah selesai makan,
kami minta hidangan penutup (
dessert). Kamipun bertanya ke sang
waiter
ajaib, ada
dessert apa yang khas India? Kan kami lagi di restoran India.
Jawaban sang
waiter lagi-lagi
ajaib. Dia bilang “tidak ada
dessert India, pesan yang lain saja”.
Kami makin penasaran dan minta buku
menu lagi. Ternyata ada tertulis jelas-jelas bahwa
dessert ala India
tersedia. Kamipun memesan
mitha kulphi, ice cream India yang rasanya
rada
milky, dengan campuran almond dan pistachio. Hidangan penutup yang
sempurna untuk hasil karya makanan luar biasa malam itu.
Setelah makan malam selesai, kami
mulai berdiskusi mengenai restoran ini. Ternyata, kami masing-masing berkomentar
bahwa
waiter-nya eksentrik. Untungnya
waiter ini sangat
ramah, penuh perhatian, dan efisien. Jadi segala keajaibannya bisa termaafkan
(pelajaran berharga: kalau
skill pas-pasan, paling tidak jadilah pribadi
yang ramah dan penuh perhatian).
Tapi tetap menarik bagi saya,
mengapa orang seramah dan sebaik ini, bisa seajaib ini.
Saat kami berdiskusi, perlahan tapi
pasti, tamu-tamu mulai berdatangan. Tidak sampai penuh tapi lumayan. Satu hal
yang pasti: tidak ada tamu orang lokal.
Mungkin karena itulah
waiter
ajaib kami ragu-ragu dan setengah tidak mau percaya bahwa kami akan menyukai
makanan di sana.
Bahkan rekan dia yang datang
belakangan terang-terangan bilang kurang suka makanan India. “Nggak ada
sambalnya, nggak nendang” katanya.
Kembali ke misteri
waiter
ajaib, saya jadi teringat pada satu artikel psikologi yang saya baca belum lama
ini. Artikel itu membahas tentang teori kepribadian.
Beginilah kira-kira pemahaman amatir
saya mengenai fenomena
waiter ajaib dari sudut pandang ilmu psikologi:
Menurut Carl Jung, sang legenda ilmu
psikologi dari Swiss, setiap manusia memiliki satu atau lebih aspek kepribadian
yang secara moral tidak bisa diterima oleh masyarakat.
Demi
survival, manusia secara
alami akan berusaha menghindari pikiran dan keinginan yang bisa membuatnya
tidak diterima.
Aspek kepribadian ini secara
otomatis akan “ditekan” ke alam bawah sadar. Kumpulan aspek-aspek kepribadian
kita yang ditekan inilah yang disebut Jung sebagai
shadow atau bayangan
kita.
Tentunya tidak mudah melihat dan
menyadari
shadow kita sendiri. Untuk mempertahankan diri dari efek
negatif dari
shadow ini, kita akan menjauhkan diri dari dan tidak
mengakui eksistensi
shadow. Bagaimana caranya?
Cara termudah adalah menekan dan
memproyeksikan pikiran ini ke orang lain. Prasangka, pembentukan opini
berdasarkan penampilan dan kecenderungan menghakimi orang lain adalah bentuk
proyeksi
shadow.
Bisa jadi, perilaku nyeleneh sang
waiter
ajaib adalah
shadow dia sendiri.
Mungkin, ketidaksukaannya pada
makanan India membuatnya berpikir bahwa orang lokal seperti saya juga tidak
akan bisa menikmatinya. Kelihatan dari keheranannya melihat kami yang mau makan
di situ, hilangnya logika pada saat menjelaskan menu, sampai
ketidakpercayaannya ketika mendengar kita malahan
order lagi.
Bukan tidak mungkin, restoran ini
hampir tidak mendapat tamu lokal karena proyeksi
shadow yang
terus-menerus terjadi. Menjadi yang namanya
self-fulfilling prophecy.
Mungkinkah pengunjung lokal yang tidak selapar kami jadi berubah pikiran?
Sebagai mantan bankir dan
stockbroker,
saya juga pernah melihat bagaimana
shadow menyebabkan
rekomendasi-rekomendasi yang kurang cocok bagi klien. Misalnya trading yang terlalu
agresif bagi profil klien konservatif.
Dalam satu kasus yang berakhir
dengan air mata, bankir yang bersangkutan pernah bercerita ke saya bahwa dia
sama sekali tidak bermaksud jelek. Semua terjadi “begitu saja”.
Ternyata dia memang tumbuh dalam
lingkungan yang sangat “
macho”. Anak lelaki di lingkungan dia diharapkan
untuk jadi jagoan, pantang menolak provokasi berkelahi. Maka untuk bisa
diterima di lingkungannya, untuk
survival, sikap “tidak
macho”
harus ditekan ke alam bawah sadar.
Shadow
ini dibawa dalam rekomendasi investasi. Sikap konservatif adalah tidak macho,
tidak
cool. Sama seperti dengan ketidaksukaan akan makanan India
Tentu pertanyaannya adalah bagaimana
kita dapat meraih kontrol atas hidup kita dan tidak membiarkan
shadow
mengambil alih kendali atas diri dan karier kita seperti sang
waiter
ajaib di cerita saya di atas?
Bagaimana kita bisa membangun karier
yang juga sangat bermakna bagi hidup kita? Yang membuat kita bahagia?
Masih dalam rangka jatuh cinta ke
ilmu psikologi, saya ingin mengutip salah satu Ted Talk yang populer “
On the
Surprising Science of Motivation”.
Di sini, Daniel Pink berbicara
tentang
Self-Determination Theory (SDT) yang mendeklarasikan,
berdasarkan riset, bahwa motivasi di tempat kerja membutuhkan pemenuhan dari
tiga unsur psikokogis berikut:
1. Otonomi. Perasaan bahwa kita
mempunyai kontrol akan hari kita.
2. Kompetensi. Perasaan puas karena
kita tahu bahwa kita mumpuni di area pekerjaan kita.
3.
Sense of purpose dan
hubungan dengan rekan kerja.
Tentu ketiga faktor ini berhubungan
erat. Makin kompeten, makin besar otonomi dan rasa hormat yang akan diberikan
kepada kita. Dan karena ada rasa hormat dari kolega kita, hubungan dengan rekan
kerja akan cenderung lebih baik. Juga otonomi dan kompetensi akan membuat kita
makin memiliki
sense of purpose. Menawarkan sesuatu pada dunia, bukannya
malah balik bertanya apa yang dunia bisa tawarkan kepada kita.
Untuk memenuhi tiga unsur psikokogis
SDT di atas, sangat masuk akal untuk membangun karier kita dengan memaksakan
kompetensi melalui kerja keras. Paksakan
skill kita untuk datang, dan
fase ini tidak mudah. Perlu yang namanya “
deliberate practice”, yaitu
latihan super tekun dengan studi yang sangat serius.
Kita sering salah berpikir bahwa
karena sesuatu kelihatan begitu mudah dan natural bagi seseorang, kita pikir
itu yang namanya bakat. Padahal itu adalah hasil akumulasi
deliberate
practice yang amat tekun.
Deliberate practice ini membutuhkan
dedikasi untuk berpindah-pindah berada di zona belajar dan zona
performance.
Bagaimana kita tahu kita sudah
melakukan
deliberate practice? Menurut Cal Newport di bukunya yang
provokatif “
So Good They Can’t Ignore You” ada dua karakteristik
deliberate
practice.
Ciri pertama adalah latihannya
sangat berat dan bukan sesuatu yang bisa dinikmati.
Ciri kedua adalah keterbukaan ke
masukan (
feedback) yang jujur, yang apa adanya. Demi perbaikan yang
signifikan.
Jadi, ada
feedback untuk
tulisan saya kali ini?
“
Frame your thoughts like this -
you are an old person, you won’t let yourself be enslaved by this any longer,
no longer pulled like a puppet by every impulse, and you’ll stop complaining
about your present fortune or dreading the future.”
- Markus Aurelius -