

Salah satu kegiatan favorit saya di Bali adalah mencoba makanan mancanegara. Karena banyak ekspat tinggal di Bali dan karena super ketatnya kompetisi, kualitas makanan di Bali seringkali sangat tinggi.
Kali ini, sesampainya di Bali, saya melihat restoran India dengan desain bangunan dan interior yang sangat cantik. Bersama dua kolega dari Jakarta, saya tergoda melongok ke dalam. Kok sepi?
Kami pikir mungkin faktor harga yang mungkin masuk kategori ugal-ugalan. Setelah kami cek di Zomato, ternyata harganya normal-normal saja.
Kebetulan, feedback restoran ini di Zomato tidak banyak tersedia. Komentarnya juga datar-datar saja, jadi agak susah ditebak.
Tapi karena desain restoran ini begitu cantik, saya tahu saya akan menyesal kalau tidak mencoba. Apalagi makanan India termasuk salah satu favorit saya. Dan saya juga memang sedang lapar. Jadi akhirnya saya dan dua kolega dari Jakarta memutuskan untuk mencoba.
Ketika kami masuk, seperti pengamatan dari luar tadi, restoran ini memang sepi. Malahan kami ternyata satu-satunya tamu di sana. Kamipun bertanya-tanya, apa mungkin kami datang sedikit terlalu pagi?
Hanya ada satu waiter, pria ramah berusia 40-an tahun. Dia terlihat agak kaget melihat kami datang. Entah mengapa.
Karena kami satu-satunya tamu saat itu, waiter ini dapat meluangkan banyak waktu untuk kami. Setelah dipersilakan duduk, sang waiter menyambut kami dengan pertanyaan yang tidak lazim:
“Maaf, ini restoran makanan India. Kalau mau makanan barat, adanya di restoran sebelah. Mungkin salah restoran?”
Rada-rada heran dengan sambutan ajaib tadi, kami hampir serempak menjawab bahwa kami memang sedang ingin mencoba makanan India: Sang waiter keliatan takjub dengan jawaban kami. Entah mengapa.
Selanjutnya menu restoran diberikan kepada kami. Setelah mengetahui sang waiter sudah lama bekerja di sana, kamipun minta masukan dia mengenai menu favorit di sana.
Jawabannya lagi-lagi ajaib.
Sang waiter, dengan kombinasi agak antusias dan setengah bingung, membacakan hampir semua menu di buku menu.
Karena makin bingung, kami mencoba mempertajam pilihan. Kami bertanya, kalau butter nan (mirip dengan roti tetapi di-baked dalam tandoor yang bentuknya silinder) sebaiknya dikombinasikan dengan apa?
Jawabannya seperti tebak-tebakan: “hmmmmm.....mungkin dengan mutton briyani (nasi briyani dengan daging kambing)”.
Kami merasa kombinasi karbo dengan karbo ini sepertinya kurang pas dan akhirnya minta dipanggilkan chef-nya untuk membantu memilih menu yang tepat.
Ternyata chef-nya masih muda. Orangnya keren. Dari India. Dengan simpatik dan sabar, dia menjelaskan pilihan menu. Akhirnya kamipun selesai memilih.
Selama menunggu, kami mulai khawatir jangan-jangan makanannya kurang enak. Kok kami masih satu-satunya tamu di sana. Dan waiter yang seharusnya sudah berpengalaman nampak belum paham soal pilihan menu.
Tapi yang menenangkan kami, bau masakan dari dapur sangat menggoda selera makan. Nggak mungkin nggak enak, pikir kami. Tapi kok sepi. Dan kok waiter-nya ajaib begitu.
Begitu makanan tiba, kami mencoba perlahan-lahan. Berdebar-debar. Ternyata...luar biasa nikmat. Salah satu makanan India terbaik yang pernah saya coba.
Butter nan-nya juga sangat spesial. Tidak terlalu empuk dan tidak terlalu keras. Pas. Saya jadi teringat perkataan teman saya yang asli India. Bahwa hanya chef yang sangat berpengalaman yang bisa membuat nan dengan sempurna.
Saking sukanya, kami minta tambahan butter nan-nya. Waiter kami tercinta tampak amat heran dengan permintaan ini. Sorot matanya seolah bertanya “nggak salah?”. Entah mengapa.
Tapi kami tidak peduli. Belum pernah makan nan seenak ini. Dengan backdrop suasana restoran yang luar biasa pula.
Terakhir, setelah selesai makan, kami minta hidangan penutup (dessert). Kamipun bertanya ke sang waiter ajaib, ada dessert apa yang khas India? Kan kami lagi di restoran India.
Jawaban sang waiter lagi-lagi ajaib. Dia bilang “tidak ada dessert India, pesan yang lain saja”.
Kami makin penasaran dan minta buku menu lagi. Ternyata ada tertulis jelas-jelas bahwa dessert ala India tersedia. Kamipun memesan mitha kulphi, ice cream India yang rasanya rada milky, dengan campuran almond dan pistachio. Hidangan penutup yang sempurna untuk hasil karya makanan luar biasa malam itu.
Setelah makan malam selesai, kami mulai berdiskusi mengenai restoran ini. Ternyata, kami masing-masing berkomentar bahwa waiter-nya eksentrik. Untungnya waiter ini sangat ramah, penuh perhatian, dan efisien. Jadi segala keajaibannya bisa termaafkan (pelajaran berharga: kalau skill pas-pasan, paling tidak jadilah pribadi yang ramah dan penuh perhatian).
Tapi tetap menarik bagi saya, mengapa orang seramah dan sebaik ini, bisa seajaib ini.
Saat kami berdiskusi, perlahan tapi pasti, tamu-tamu mulai berdatangan. Tidak sampai penuh tapi lumayan. Satu hal yang pasti: tidak ada tamu orang lokal.
Mungkin karena itulah waiter ajaib kami ragu-ragu dan setengah tidak mau percaya bahwa kami akan menyukai makanan di sana.
Bahkan rekan dia yang datang belakangan terang-terangan bilang kurang suka makanan India. “Nggak ada sambalnya, nggak nendang” katanya.

Beginilah kira-kira pemahaman amatir saya mengenai fenomena waiter ajaib dari sudut pandang ilmu psikologi:
Menurut Carl Jung, sang legenda ilmu psikologi dari Swiss, setiap manusia memiliki satu atau lebih aspek kepribadian yang secara moral tidak bisa diterima oleh masyarakat.
Demi survival, manusia secara alami akan berusaha menghindari pikiran dan keinginan yang bisa membuatnya tidak diterima.
Aspek kepribadian ini secara otomatis akan “ditekan” ke alam bawah sadar. Kumpulan aspek-aspek kepribadian kita yang ditekan inilah yang disebut Jung sebagai shadow atau bayangan kita.
Tentunya tidak mudah melihat dan menyadari shadow kita sendiri. Untuk mempertahankan diri dari efek negatif dari shadow ini, kita akan menjauhkan diri dari dan tidak mengakui eksistensi shadow. Bagaimana caranya?
Cara termudah adalah menekan dan memproyeksikan pikiran ini ke orang lain. Prasangka, pembentukan opini berdasarkan penampilan dan kecenderungan menghakimi orang lain adalah bentuk proyeksi shadow.
Bisa jadi, perilaku nyeleneh sang waiter ajaib adalah shadow dia sendiri.
Mungkin, ketidaksukaannya pada makanan India membuatnya berpikir bahwa orang lokal seperti saya juga tidak akan bisa menikmatinya. Kelihatan dari keheranannya melihat kami yang mau makan di situ, hilangnya logika pada saat menjelaskan menu, sampai ketidakpercayaannya ketika mendengar kita malahan order lagi.
Bukan tidak mungkin, restoran ini hampir tidak mendapat tamu lokal karena proyeksi shadow yang terus-menerus terjadi. Menjadi yang namanya self-fulfilling prophecy. Mungkinkah pengunjung lokal yang tidak selapar kami jadi berubah pikiran?
Sebagai mantan bankir dan stockbroker, saya juga pernah melihat bagaimana shadow menyebabkan rekomendasi-rekomendasi yang kurang cocok bagi klien. Misalnya trading yang terlalu agresif bagi profil klien konservatif.
Dalam satu kasus yang berakhir dengan air mata, bankir yang bersangkutan pernah bercerita ke saya bahwa dia sama sekali tidak bermaksud jelek. Semua terjadi “begitu saja”.
Ternyata dia memang tumbuh dalam lingkungan yang sangat “macho”. Anak lelaki di lingkungan dia diharapkan untuk jadi jagoan, pantang menolak provokasi berkelahi. Maka untuk bisa diterima di lingkungannya, untuk survival, sikap “tidak macho” harus ditekan ke alam bawah sadar.
Shadow ini dibawa dalam rekomendasi investasi. Sikap konservatif adalah tidak macho, tidak cool. Sama seperti dengan ketidaksukaan akan makanan India
Tentu pertanyaannya adalah bagaimana kita dapat meraih kontrol atas hidup kita dan tidak membiarkan shadow mengambil alih kendali atas diri dan karier kita seperti sang waiter ajaib di cerita saya di atas?
Bagaimana kita bisa membangun karier yang juga sangat bermakna bagi hidup kita? Yang membuat kita bahagia?
Masih dalam rangka jatuh cinta ke ilmu psikologi, saya ingin mengutip salah satu Ted Talk yang populer “On the Surprising Science of Motivation”.
Di sini, Daniel Pink berbicara tentang Self-Determination Theory (SDT) yang mendeklarasikan, berdasarkan riset, bahwa motivasi di tempat kerja membutuhkan pemenuhan dari tiga unsur psikokogis berikut:
1. Otonomi. Perasaan bahwa kita mempunyai kontrol akan hari kita.
2. Kompetensi. Perasaan puas karena kita tahu bahwa kita mumpuni di area pekerjaan kita.
3. Sense of purpose dan hubungan dengan rekan kerja.
Tentu ketiga faktor ini berhubungan erat. Makin kompeten, makin besar otonomi dan rasa hormat yang akan diberikan kepada kita. Dan karena ada rasa hormat dari kolega kita, hubungan dengan rekan kerja akan cenderung lebih baik. Juga otonomi dan kompetensi akan membuat kita makin memiliki sense of purpose. Menawarkan sesuatu pada dunia, bukannya malah balik bertanya apa yang dunia bisa tawarkan kepada kita.
Untuk memenuhi tiga unsur psikokogis SDT di atas, sangat masuk akal untuk membangun karier kita dengan memaksakan kompetensi melalui kerja keras. Paksakan skill kita untuk datang, dan fase ini tidak mudah. Perlu yang namanya “deliberate practice”, yaitu latihan super tekun dengan studi yang sangat serius.
Kita sering salah berpikir bahwa karena sesuatu kelihatan begitu mudah dan natural bagi seseorang, kita pikir itu yang namanya bakat. Padahal itu adalah hasil akumulasi deliberate practice yang amat tekun. Deliberate practice ini membutuhkan dedikasi untuk berpindah-pindah berada di zona belajar dan zona performance.
Bagaimana kita tahu kita sudah melakukan deliberate practice? Menurut Cal Newport di bukunya yang provokatif “So Good They Can’t Ignore You” ada dua karakteristik deliberate practice.
Ciri pertama adalah latihannya sangat berat dan bukan sesuatu yang bisa dinikmati.
Ciri kedua adalah keterbukaan ke masukan (feedback) yang jujur, yang apa adanya. Demi perbaikan yang signifikan.
Jadi, ada feedback untuk tulisan saya kali ini?
“Frame your thoughts like this - you are an old person, you won’t let yourself be enslaved by this any longer, no longer pulled like a puppet by every impulse, and you’ll stop complaining about your present fortune or dreading the future.”
- Markus Aurelius -