

Tanggal yang masih saya catat sampai sekarang. Karena di hari itu saya menghadiri presentasi yang sampai kini, delapan tahun kemudian, masih saya ingat persis. Acara itu diadakan oleh Entrepreneurs' Organization (EO) Indonesia dan chapter president-nya Rachmat Harsono (sekarang CEO perusahaan gas industri yang sedang bertransformasi secara luar biasa, PT Aneka Gas Industri Tbk) mengajak saya untuk hadir di acara EO hari itu.
Walaupun bukan member EO, saya penggemar berat acara-acara EO, sebuah organisasi networking internasional dengan 10.000 lebih entrepreneurs di 46 negara terdaftar sebagai anggotanya. Saya suka sekali acara-acara EO yang bertujuan untuk memfasilitasi pertumbuhan (growth) profesional dan personal anggotanya.
Hampir semua acara EO yang pernah saya hadiri memang luar biasa bagus. Tapi acara hari itu sangat spesial. Kisah tentang memilih state of mind, yang pada akhirnya memerdekakan kita.
Pembicaranya adalah Reon Schutte dari Afrika Selatan (Afsel). Reon adalah seorang Afrikaner, etnis kulit putih di Afsel, yang sejarahnya dimulai tahun 1600-an. Selama kurang lebih 150 tahun, beberapa bangsa Eropa terutama Belanda, Jerman, dan Prancis beremigrasi dan bermukim turun-menurun di the Cape of Good Hope, Afrika Selatan. Selama ratusan tahun, banyak perkawinan campuran antara bangsa-bangsa Eropa ini. Mereka kemudian menamakan diri mereka Afrikaner.
Berbeda dengan orang Afrika Selatan keturunan Inggris, bahasa utama orang Afrikaner adalah Afrikaans. Bahasa suku Afrika Zulu dan Xhosa adalah bahasa kedua dan ketiga Afrikaner. Reon baru belajar bahasa Inggris kelak di usia dewasa.
Reon lahir tahun 1961, di saat Afrika Selatan baru memperoleh kemerdekaan dari Inggris. Sebelumnya, Inggris menjadi penguasa Afrika Selatan setelah memenangkan perang Anglo-Boer kedua di tahun 1902 dan sukses menaklukkan perjuangan hebat Afrikaner.
Reon adalah anak ketiga dari empat bersaudara. Kehidupan keluarganya sangat pas-pasan. Ayahnya adalah pekerja konstruksi. Di usia 6 tahun, sang ayah memberikan senapan berburu untuk Reon. Kemudian ia diberi tugas untuk berburu binatang untuk makanan mereka hari itu. Targetnya tiga binatang hasil buruan, dan modalnya tiga buah peluru.
Tiga peluru, tiga hasil buruan. Di usia 6 tahun. Kalau gagal? Jangan pulang. Dan Reon berhasil.
Tidak heran kalau di usia 14 tahun, Reon dapat menembak bull’s eye dari jarak 0,80 km. Juga tidak heran kalau di usia 16 tahun, Reon bergabung dengan militer Afrika Selatan, South African Defense Force (SADF). Di usia 18 tahun, ia melamar untuk menjadi anggota pasukan khusus SADF dan diterima, menjadi salah satu anggota termuda dalam sejarah.
Di tahun 1992, terjadi pergantian penguasa di Afrika Selatan, dari rezim apartheid kulit putih ke mayoritas kulit hitam. Setelah tiga dekade konflik, perang di Afrika Selatan pun memasuki babak akhir. Dan Reon dikirim dalam misi ke 6 negara Afrika untuk menutup operasi militer di negara-negara itu. Negara terakhir dalam misinya adalah Zimbabwe.
Setelah 18 tahun terlibat dalam perang dan melihat horor perang secara langsung, Reon sebenarnya sudah ingin pulang kampung dan balik ke kehidupan sipil. Tapi misi terakhir ke Zimbabwe sulit untuk ditolak, karena ini menyangkut upaya menyelamatkan 3 rekan Reon.
Ternyata misi terakhir ini jebakan buat Reon dan tim. Reon ditangkap oleh 30 orang anggota pasukan khusus Zimbabwe, diadili oleh pengadilan militer tribunal dan dijatuhi hukuman 26 tahun penjara Chikurubi di Zimbabwe dengan tuduhan mata-mata. Penjara yang terkenal dengan kebrutalannya.
Neraka Chikurubi
Dalam konteks Zimbabwe, angka 26 tahun ini pada dasarnya tidak relevan. Tingkat survival di Chikurubi hanya 10%. Dan ini pun untuk orang kulit hitam Afrika. Kalau untuk orang kulit putih? Tingkat survival-nya adalah 0%.
Dengan kata lain, 26 tahun adalah setara dengan hukuman mati untuk Reon, setelah menderita di penjara. Presiden Zimbabwe Robert Mugabe saja sudah bersumpah bahwa Reon akan tamat di penjara Zimbabwe.
Setibanya di Chikurubi, Reon baru tahu kalau dia adalah satu-satunya orang kulit putih di sana. Di antara 2.000 penjaga dan 5.000 napi kulit hitam. Di era di mana orang kulit putih dianggap mewakili semua yang salah, yang buruk, dan semangat kebencian di Afrika. Plus, Reon adalah anggota pasukan khusus Afrika Selatan yang reputasinya terkenal ganas. Reon mungkin baru sadar kalau kalau kemungkinan survival-nya di Chikurubi adalah di bawah 0%.
Reon diberi sepasang celana pendek dan kaos, juga tiga selimut jorok penuh kutu. Cuman itu hartanya di Chikurubi, tanpa ranjang, matras, sabun, kaos kaki, sikat dan pasta gigi, maupun baju dalam. Kertas toilet juga tidak ada. Air mengalir hanya diberikan sebulan sekali. Toilet itu sendiri cuman satu lubang di sudut sel untuk 50 orang. Kebayang joroknya.
Ukuran sel penjara hanya 6 x 8 meter, dan ini harus berbagi bersama 49 napi lainnya. Para napi harus membagi tidur dalam 2 shift, dan posisi tidur harus miring dan mepet ala sarden. Saking mepetnya sampai kutu rambut napi di depan bisa terlihat begitu jelas.
Sehari-hari, para napi kebanyakan dikurung selama 24 jam di sel tanpa jendela. Jadi tidak tahu kapan siang dan kapan malam. Mustahil untuk bisa tahu bahwa Reon sudah menjalani masa tahanan 26 tahun atau belum, kalau pun dia bisa tetap hidup. Kontak dengan dunia luar juga tidak diperbolehkan.
Makanan napi diberikan sekali sehari: setengah mangkuk nasi dan setengah mangkuk daun kubis. Sama tiap hari. Tapi saking bosannya dengan kehidupan di penjara, napi jadi terobsesi dengan “makanan” ini.
Seakan semua itu belum cukup, tiap hari penjaga penjara keliling dan napi akan mendapat giliran untuk dihajar. Reon, satu-satunya trofi kulit putih Chikurubi, akan mendapat jatah ekstra untuk digebukin, termasuk oleh sesama napi. Semua gigi rontok dan tulang patah sudah sering dialami.
Tidak heran kalau banyak yang memutuskan untuk bertekuk lutut di Chikurubi. Menyerah, duduk termenung, dan meninggal. Tapi, Reon tidak pernah mau menyerah, walau marah, sakit hati, dan dendam sempat mendominasi Reon.
Titik Balik
Reon akhirnya bisa menerima kenyataan bahwa tidak akan ada operasi “Saving Reon” dari pasukan khusus Afrika Selatan, walau standar operasi penyelamatan seharusnya ada. Reon pun menerima kenyataan bahwa dia telah terlupakan.
Tanpa menerima kenyataan secara jujur, tidak mungkin bagi Reon untuk merubah keadaan. Penyangkalan akan kenyataan mungkin akan membantu memotivasi Reon untuk bisa bertahan hidup, tapi tidak sustainable. Penerimaan akan kenyataan akan memungkinkan Reon untuk mengevaluasi pilihan yang ada secara rasional.
Reon melihat bahwa satu-satunya “income stream” yang ia peroleh di Chikurubi adalah setengah mangkuk nasi dan setengah mangkuk daun kubis setiap hari. Ini satu-satunya yang bisa dipakai sebagai modal “trading”. Apalagi para napi menjadi begitu terobsesi dengan jatah makan di penjara ini.
Lah tapi kan jatah makan minim sekali? Reon harus merubah mindset-nya. Dia harus sukses memberitahu diri sendiri bahwa sebagai Afrikaner yang budayanya terkenal doyan kuliner, dia harus bisa menerima mantra “saya tidak lapar, ini sudah cukup”.
Pikiran kita ternyata ajaib. Tiba-tiba Reon berhenti lapar dan berhenti terobsesi pada makanan. Merasa berkecukupan. Dan punya “income stream” untuk modal “trading”: nasi dan kubis.
Nasi dan kubis ini mulai ia perdagangkan dengan sesama napi, yang punya koneksi penjaga penjara. Ditukar kertas, pulpen, dan amplop. Reon menulis surat minta tolong ke beberapa alamat di Afrika Selatan yang ia pikir mungkin akan bisa membantunya keluar dari Chikurubi. Surat kabar, majalah, dan hotel misalnya. Semuanya ditukar dengan jatah makan sehari Reon.
Selama beberapa tahun, Reon menulis ratusan surat, ke alamat random. Tanpa bisa tahu ada yang akan membaca atau tidak. Sampai-sampai teman napinya kasihan dan menganjurkan Reon untuk berhenti mengirim surat dan mulai makan.
Hingga suatu hari, salah satu surat Reon dimuat di majalah Out There, majalah soal alam dan tentu pada umumnya tidak akan mempublikasikan surat individu. Tapi Out There memuat surat Reon. Dan salah satu pembacanya adalah Philip Albertaine, seorang mahasiswa Afrikaner yang religius dan berasal dari keluarga petani di Afrika Selatan.
Hebatnya, Philip peduli. Dia memberitahu ibu dan kakak-kakaknya kalau dia akan membentuk support group dan akan menyelamatkan Reon dari Chikurubi. Keluarga Philip bilang iya-iya saja, mereka pikir Philip toh akan segera lupa.
Tapi yang lebih luar biasa adalah Philip ternyata tidak pernah melupakan Reon. Bahkan setelah Philip lulus kuliah dan mulai bekerja, ia tetap tidak lupa. Philip yang “orang biasa-biasa” saja membentuk support group, yang kemudian melobi banyak negara untuk menekan pemerintah Zimbabwe agar membebaskan Reon.
Suatu hari, seorang penjaga penjara yang mengagumi semangat pantang menyerah Reon menyelundupkan sebuah surat dari Philip. Surat yang mengabarkan ke Reon bahwa tidak semua orang telah melupakannya.
Reon terhenyak dan menangis membaca surat Philip. Surat ini juga memberikan injeksi semangat hidup yang baru bagi Reon.
Check out dari Chikurubi
Melengkapi penderitaan di Chikurubi, Reon terserang sakit parah selama di penjara. Di tahun 2004, setelah tujuh kali operasi (dengan biaya ditanggung oleh support group Philip), dokter di Zimbabwe akhirnya menyerah. Vonis untuk Reon adalah sisa hidupnya tinggal 6 bulan lagi.
Yang membuat Reon bertanya mengapa Tuhan membiarkannya menderita 12 tahun dan 8 bulan di Chikurubi dan kemudian mengambil nyawanya? Mengapa penyakit ini tidak terjadi di awal masa Chikurubi?
Berat badan Reon tinggal 48kg, dan Reon merasa hidupnya akan segera berakhir. Sampai tiba-tiba petugas penjara meminta Reon untuk mengenakan pakaian. Reon mengira ia akan kembali menjadi sasaran penyiksaan, seperti sebelum-sebelumnya ketika ia diminta berpakaian.
Ternyata Reon salah. Banyak orang ternyata telah menantinya di area penerimaan tamu Chikurubi, termasuk media. Flashkamera menghujam ke mata Reon. Juga pertanyaan bertubi-tubi.
Sulit bagi Reon untuk percaya, bahwa setelah 4.620 malam di neraka Chikurubi, Reon akhirnya kembali menghirup udara bebas dan kembali ke tanah kelahirannya di Afrika Selatan. Berkat dukungan Philip Albertaine dan support group-nya, yang memenuhi janji untuk tidak akan melupakan Reon.

Delapan tahun telah berlalu sejak Reon Schutte membagikan kisah hidupnya di depan audience di Jakarta di tahun 2012. Dan kebetulan tahun 2012 adalah delapan tahun setelah ia berhasil keluar dari penjara Chikurubi. Saya percaya dalam periode 16 tahun ini, kisah hidup Reon telah menginspirasi banyak orang.
Di tengah kekejaman Chikurubi, Reon mampu merekonstruksi kondisinya, apa yang disebut oleh Tony Robbins sebagai “state”. Salah satu cara termudah untuk mendekatkan diri ke kondisi peak state adalah dengan memperbaiki kondisi fisik kita. Dalam konteks Reon di Chikurubi, salah satu yang urgen adalah mencegah kondisi fisiknya dihancurkan lebih lanjut dengan siksaan tiap hari.
Menghadapi teror penyiksaan saban hari, seperti sebelumnya Reon terus mengatakan “saya tidak lapar”, suatu hari Reon mengatakan pada dirinya sendiri: “Tenang. Toh saya tidak bisa lari. Saya juga tidak bisa bersembunyi, Semua akan terjadi, jadi tidak usah dibikin stres.”
Seperti halnya keberhasilan mantra sebelumnya, tiba-tiba Reon tidak lagi takut pada para tukang gebuk ini. Kata-katanya berfungsi seperti incantation, sesuatu yang diucapkan berkali-kali yang akhirnya sukses merubah bagaimana bagaimana Reon berpikir, bagaimana perasaan Reon, dan bagaimana dia hidup. Sungguh suatu relationship yang dalam dan passionate.
Suatu hari, ketika para tukang gebuk itu datang, mereka memilih untuk melewatkan Reon. Keesokan harinya, hal yang sama terjadi. Dan seterusnya, dan seterusnya.
Rupanya kenyataan bahwa Reon tidak lagi takut tersebut dapat ditransfer ke psikologi para tukang gebuk. Tiba-tiba, tidak lagi fun untuk menggebuki Reon yang sudah tidak lagi takut. It takes two to tango.
Mungkin sudah saatnya kita mempersiapkan masa depan kita dengan tiap hari mengatakan ke diri sendiri “Saya akan menciptakan, saya tidak akan menghancurkan. Saya akan menyisihkan uang untuk saya investasikan, uang bukan untuk saya hambur-hamburkan. Saya akan menciptakan standar baru, saya akan ke level yang lebih tinggi.”
Seperti di Chikurubi, kita hanya akan gagal begitu kita mengatakan pada diri sendiri bahwa kita tidak berhasil dan kita menyerah. Persis seperti mereka yang menyerah, duduk termenung, dan meninggal di Chikurubi.
Kalau Reon sanggup menulis ratusan surat yang per suratnya harus ia bayar sangat mahal dengan jatah makan dan menanggapi tiap kegagalan sebagai pelajaran, mungkin kita juga harus menganggap tiap upaya yang belum sukses sebagai kesempatan untuk terus belajar. Mungkin keberhasilan ada di depan mata, dan sungguh sayang kalau kita menyerah di titik mendekati keberhasilan ini.
Kalau ditanya pelajaran apa yang terpenting, Reon akan menjawab: MEMAAFKAN.
Walaupun tentunya Reon dipenuhi rasa marah, benci, dan kepahitan selama di Chikurubi, Reon akhirnya dapat memaafkan semuanya. Para tukang gebuk, pimpinan yang mengkhianatinya, dan orang-orang yang melupakannya.
Memaafkan ini dimulai dengan mengambil tanggung jawab penuh atas apa yang terjadi pada diri Reon. Kenyataannya adalah tidak ada yang memaksa Reon untuk bergabung dengan pasukan khusus Afrika Selatan. Juga tidak ada yang memaksanya mengambil misi ke Zimbabwe. Reon melakukan dengan kemauan sendiri. Dengan sikap ini, ia sanggup mengambil tanggung jawab penuh atas tindakannya dan memaafkan orang lain.
Pada akhirnya, mengambil tanggung jawab penuh atas tindakan kita juga berarti kita menghindari menyalahkan diri sendiri atau orang lain atas kesalahan yang kita perbuat. Dan sikap ini memungkinkan kita untuk belajar dari kesalahan kita.
Memaafkan itu sendiri sebenarnya juga bukan untuk orang lain. Memaafkan itu bermanfaat untuk diri kita sendiri. Kebencian dan kemarahan kita tidak melukai mereka yang menyakiti kita. Satu-satunya yang dirugikan adalah diri kita sendiri. Jadi lebih baik kita maafkan saja.
“Emancipate yourself from mental slavery, none but ourselves can free our minds”
Bob Marley