“Conversation enriches the understanding,
but solitude is the school of genius”
Edward Gibbon
Seorang teman baru saja kembali dari perjalanan
dua minggu ke Eropa. Sekembalinya ke apartemen di Jakarta, tiba-tiba ia
merasakan situasi yang menggelisahkan.
Kebetulan dia punya dua tetangga, di sebelah
kanan dan kiri, yang entah kenapa gemar sekali berteriak-teriak dalam
berkomunikasi. Bahkan ketika lawan bicara (dalam konteks ini lebih tepat pakai
istilah lawan bicara daripada teman bicara?) berada persis di depan atau
samping, metode berteriak kencang-kencang juga tetap digunakan. Pokoknya kalau
belum teriak, belum puas, belum lega.
Rupanya default volume si dua
tetangga adalah LOUD, tidak ada pilihan tombol untuk mengecilkan
suara. Default teriak kencang ini juga tetap dipakai bahkan ketika
salah satu dari si tetangga datang ke teman saya untuk “pinjam Baygon” demi
membasmi kecoak di apartemennya. Memang rada ajaib permintaan ini. Minimarket toh
buka 24 jam di lantai bawah, apa perlunya sampai mengganggu privacy
tetangga untuk urusan Baygon. Pakai teriak-teriak lagi.
Baru saja menikmati perjalanan ke Eropa yang
menenteramkan jiwa, tiba-tiba teman saya harus kembali pada suasana penuh
hiruk-pikuk yang tidak perlu.
Di era sekarang, yang namanya solitude,
hening, atau kesendirian itu telah menjadi barang yang sulit dicari. Solitude
adalah praktik hening yang memang kita inginkan dan tentunya berbeda sekali
dengan kondisi kesepian yang sifatnya bukan pilihan.
Jadi teringat di masa kecil saya dulu, secara
otomatis ada begitu banyak situasi dalam kehidupan yang memaksa saya untuk
sendiri dalam pikiran. Dengan pikiran yang tenang dan independen, dan terbebas
dari input orang lain.
Jaman itu, kalau lagi nunggu angkot saat pulang
ekskul sekolah di malam hari, tidak ada ponsel yang setia menemani dan bisa
dipakai untuk mengatasi kebosanan. Juga sewaktu makan, sewaktu berjalan kaki,
berada di toilet, antre, ataupun saat-saat tegang di warung bakso Pak Jo di
Surabaya menanti apakah kencan saya akan muncul atau tidak. Di masa itu, banyak
sekali kesempatan untuk sendiri dalam pikiran saya. Hening.
Tapi sekarang hening telah menjadi barang langka,
bahkan telah menjadi obsesi konsumer terbaru. Kita bersedia membayar lebih
untuk pengalaman hening. Vila dan apartemen, makin sepi makin mahal. Studio
yoga idaman seringkali di tempat sepi, kalau bisa di tengah sawah. Malah kalau
bisa di tengah hutan dengan suara alam nan menggoda. Meditasi, termasuk
aplikasinya di ponsel, menjadi bagian penting dari kehidupan profesional
urban.
Intinya, kita menjadi alergi dengan ribut-ribut,
dengan noise dan merindukan ketenangan.
Mengapa ini terjadi? Mengapa hening menjadi
komoditas langka?
Kita tahu salah satu jawabannya adalah
popularitas ponsel. Beserta sosmed serta aplikasi lainnya. Yang membuat kita
selalu connected, selalu terhubung. Mulai di saat kita menunggu MRT
sampai di saat menanti kencan.
Dari segi desain kantor, memang lagi jamannya
desain kantor yang serba terbuka. Tanpa sekat, tanpa cubicles. Sesuai
dengan struktur organisasi yang makin horizontal. Dinding di kantor
pun banyak diganti dengan kaca demi transparansi.
Juga dalam berkarier, kita harus lincah untuk
bekerja secara tim. “People skill” adalah menu wajib kalau mau karier
kita maju. Bahkan sejak awal karier di perusahaan multinasional, saya sudah
diajarkan untuk tidak malu-malu berbicara soal kontribusi saya ke organisasi.
Padahal latar belakang budaya Jawa Timur saya sangat nggak enak “pamer
prestasi” model begini.
Percaya diri dan pamer prestasi juga bukan melulu
porsi profesional di kantor. Atlet, ilmuwan, pelukis, penulis....semua harus
bersedia berbicara tentang pencapaiannya. Kalau perlu ke talkshow
supaya terkenal dan kariernya moncer.
Seperti yang ditulis oleh Susan Cain dalam
bukunya yang dahsyat Quiet: The Power of Introverts in a World That Can't
Stop Talking, sepertinya tidak ada lagi tempat di dunia ini untuk kaum
introvert. Kalau anak kita kebetulan punya pembawaan introvert, kita akan
otomatis dorong untuk menjadi extrovert. Untuk keluar dari cangkangnya. “Bisa
nggak sih kamu menjadi seperti si Anita? Gampang bergaul dengan orang?” kita
sering bilang begitu ke anak kita yang cenderung pendiam. Tanpa sadar kita lupa
aturan main kita sendiri. Bahwa tidak boleh membanding-bandingkan dengan orang
lain.
Juga tanpa sadar kita lupa bahwa hening, solitude,
kesendirian, tidak terus-terusan heboh, tidak teriak-teriak waktu pinjam Baygon
ke tetangga...semua itu punya manfaat yang sangat besar. Manfaat yang sering
kurang kita hargai.
Momen hening itu sangat dibutuhkan untuk
memungkinkan kita untuk menanam benih-benih pemikiran yang original. Sehingga
benih ini akan tumbuh dan berkembang di tempat-tempat yang belum terbiasa. Juga
di fase-fase kehidupan kita yang penuh kejutan dan misteri. Karena hidup itu
memang penuh misteri.
Sahabat dan mentor saya Ibu Lily Kasoem, yang
sekarang mengabdikan dirinya untuk membantu anak-anak di daerah miskin untuk
meraih akses pendidikan lewat Yayasan Titian, pernah berkata kepada saya
mengenai pentingnya hening. Dalam pemikiran beliau, hening adalah unsur penting
untuk konsentrasi bekerja, kejernihan dalam berpikir, beristirahat dengan baik,
merenung ataupun berkomunikasi dengan Sang Pencipta dan juga dengan diri
sendiri.
Hening dan kesendirian juga memungkinkan kita
untuk menggali kembali siapa sesungguhnya kita dan memahami siapa diri kita dan
tujuan hidup kita.
Mungkin sudah saatnya untuk mengambil satu
langkah mundur, dan bertanya ke diri sendiri, kapan terakhir kita
mengalokasikan waktu untuk hening dan kesendirian? Untuk mengembalikan fokus
dan merevitalisasi pikiran, tubuh, dan jiwa.
Robin Sharma, penulis buku cantik The Monk
Who Sold His Ferrari, berpendapat bahwa mengalokasikan waktu untuk hening,
bahkan hanya beberapa menit tiap hari, akan sangat membantu kita untuk berpusat
pada prioritas-prioritas terpenting di hidup. Dan menghindari yang tidak
penting, yang mboten-mboten.
Banyak orang hebat dari berbagai bidang yang
mendapatkan inspirasinya dari mengalokasikan waktu untuk menikmati hening.
Investor legendaris Ray Dalio misalnya, sangat menganjurkan hening sebagai
bagian proses berpikir. Sejarah juga mencatat Martin Luther King Jr. dan
Abraham Lincoln memberi kredit sangat besar kepada kesendirian dalam membangun
pemikiran-pemikiran hebat mereka.
Hening dan kesendirian tidak selalu identik
dengan mengunci diri di kamar. Berjalan kaki sendirian di alam terbuka juga
bentuk hening. Bapak psikologi Carl Jung, misalnya, adalah salah satu yang
menganjurkan jalan kaki di alam terbuka sebagai sumber inspirasi. Bahkan tokoh
filsafat Friedrich Nietzsche pernah bilang “only thought reached by walking
have value.” Hanya pemikiran yang didapatkan dari berjalan kaki yang
mempunyai nilai.
Bagaimana kalau tidak punya cukup waktu untuk
hening dan kesendirian? Itu seperti kita melakukan perjalanan mobil
Jakarta-Surabaya dan merasa tidak punya waktu untuk isi bensin.
Kita tidak didesain untuk selalu terhubung,
selalu wired. Juga tidak di desain untuk diteriaki. Buktinya apa? Pada
waktu kita jatuh cinta, dengan bisikan sekalipun kita sudah paham. Kita punya
kapasitas yang besar untuk bisa memahami orang lain, tanpa perlu diteriaki. Mau
dipahami? Buat orang jatuh cinta kepada kita. Dan teriak-teriak waktu pinjam
Baygon tidak akan mendatangkan cinta.
Biarkanlah tetangga dan orang di sekitar kita
bisa menikmati hening dan kesendirian. Karena hening dan kesendirian adalah hak
segala bangsa.
Written by Wuddy Warsono, CFA