Dua Puluh Tiga Tahun yang Lalu
21 October 2019
Kalau saya ditanya pekerjaan mana yang paling berkesan, jawabannya adalah pekerjaan pertama saya setelah lulus kuliah, yaitu di sebuah bank asing paling top cabang Surabaya. Yang pertama memang seringkali paling berkesan. Tidak heran kalau film atau novel dengan cerita cinta pertama suka masuk daftar terpopuler dengan kesan paling dalam.

Dari kolega-kolega di bank asing tersebut, yang tetap menjadi sahabat-sahabat terdekat sampai hari ini, saya belajar banyak tentang sikap profesional dan mindset untuk menjadi outstanding dan first class. Tidak cukup menjadi luar biasa, apalagi hanya biasa-biasa saja. Bank asing tersebut di era pertengahan 1990-an itu memang menjadi sekolahnya para bankir. Lulusannya juga banyak yang menjadi tokoh di dunia perbankan dan finansial. Semacam kawah candradimuka-nya profesional di bidang keuangan.

Tapi jujur, keinginan saya bekerja di bank asing ternama itu lebih didominasi faktor lain, yang jauh lebih sederhana. Motivasi utama berkerja di bank asing itu adalah karena saya sangat menginginkan pekerjaan yang dresscode untuk prianya minimal pakai dasi.

Bagi saya pada waktu itu, kerja pakai dasi itu keren. Level eksekutif, bahasa Surabaya- nya. Kemungkinan mendapatkan pacar idaman juga jauh lebih baik kalau kerja level eksekutif. Kira-kira begitu.

Kebetulan sewaktu saya kuliah di Surabaya, lokasi kampus berdekatan dengan kantor bank asing itu. Tiap kali lewat kantor bank tadi, saya melihat karyawan prianya memakai dasi. Keren dan perlente.

Waktu jaman kuliah, untuk bisa membantu membiayai kuliah, saya bekerja sabagai salesman tinta cetak. Ke mana-mana naik motor, di bawah terik matahari Surabaya membawa kaleng yang isinya contoh tinta cetak. Kontras dengan style pegawai bank asing tersebut yang terlihat keren berdasi, dan kerja di ruang ber-AC pula.

Kerja di bank asing top itu menjadi obsesi. Saya melamar berkali-kali sejak mulai tugas skripsi tapi lamaran kerja belum bisa diterima sampai lulus kuliah. Ya udah, nanti lulus skripsi akan mencoba lagi, begitu pemikiran saya.

Akhirnya setelah lulus kuliah di tahun 1995, percobaan saya untuk bisa diterima kerja di bank asing itu mulai membuahkan hasil. Saya ditawari pekerjaan di cabang Surabaya sebagai salesman, tapi sifatnya bukan pegawai tetap. Kalau sudah bisa membuktikan prestasi, baru saya akan diberi kesempatan menjadi pegawai tetap. Soal jangka waktunya, adalah hak penuh bank asing tersebut. Kapan pas butuh pegawai tetap dan itu pun kalau saya dianggap berprestasi dan pantas.

Tapi saya tidak pusing dengan semua detail itu. Yang saya tanyakan apakah salesman kalau ke kantor harus mengenakan dasi? Mungkin interviewer yang saya tanya rada bingung dengan pertanyaan ajaib itu, tapi jawabnya “iya, pakai dasi”.

Tanpa banyak peduli dengan gaji yang ditawarkan, saya langsung menerima pekerjaan yang ditawarkan. Dengan hati gembira, malam itu juga saya langsung beli beberapa dasi. Sudah jadi semi-eksekutif, begitu pikiran saya waktu itu.

...
Dasi itu saya pakai ke mana-mana. Pun waktu makan siang di warung sebelah bank. Dan saya kerja super keras, seringkali menjadi salesperson terbaik kalau ada sales contest. Setahun kemudian atau di akhir tahun 1995, saya diangkat menjadi sales supervisor. Tapi saya masih belum menjadi pegawai tetap bank tersebut. Memang tidak mudah buat produk sekolahan lokal pada waktu itu untuk menjadi pegawai tetap di bank asing ini.

Mungkin karena dianggap berprestasi atau mungkin karena manajemen bank suka dengan sikap saya yang selalu gembira asal diperbolehkan senantiasa pakai dasi, setahun kemudian yaitu di tahun 1996, saya ditawari posisi sales manager untuk cabang Surabaya. Kali ini posisinya adalah menjadi pegawai tetap. Berita ini membuat saya sangat berbahagia. Rasanya seperti akhirnya menjadi eksekutif beneran, bukan eksekutif- eksekutifan. Air mata bahagia pun menitik.

Surat pengangkatan menjadi pegawai tetap bank asing ternama itu pun akhirnya tiba. Surat itu bahasanya demikian indah. Pakai bahasa Inggris. Saya kurang paham tapi ada teman di cabang Surabaya yang berbaik hati membantu menerjemahkan isinya yang cantik itu. Surat dikirim oleh manajer human resources bank tersebut di Jakarta. Di akhirwelcome letter itu tertulis bahwa kapan saja saya mau telepon si manajer tadi, dipersilakan. Nomor telepon pun dicantumkan di sana.Tertulis, kalau ada pertanyaan- pertanyan lebih lanjut, silakan telepon.

Saya pandangi surat itu berlama-lama. Surat tanda mulai hidup sebagai eksekutif sejati. Dan saya terpanggil untuk menelepon sang pengirim surat dari kantor pusat itu. Orangnya pasti baik dan ramah, tercermin dari suratnya. Begitu pemikiran saya.

Akhirnya setelah jam kerja hari itu lewat, saya telepon lah si manajer HRD pengirim surat tadi. Ternyata, di luar dugaan, dengan nada sangat marah dia bertanya mengapa saya telepon-telepon kalau tidak ada yang penting. Saya coba jelaskan kalau saya hanya merespons paragraf terakhir surat yang ia kirim, untuk telepon kapan saja. Saya cuma mau bilang terima kasih sebesar-besarnya atas kesempatan yang diberikan. Itu saja. Oh ada lagi, bahwa ini seperti mimpi yang menjadi kenyataan bagi saya. Untuk itu saya sangat berterima kasih, dan bahwa intensi saya akan selamanya bekerja di bank asing tersebut. Ternyata di sebelah sana, teleponnya ... sudah ditutup.

Tentu cerita ini sekarang adalah cerita yang lucu buat saya. Tetapi saat itu, saya merasa marah dan kecewa yang luar biasa. Saya merasa hanya minta semenit saja dari waktu sang manajer HRD. Itu pun semata untuk memberikan apresiasi. Memang saya masih sangat naif, belum paham bahasa korporat. Level pangkat saya juga belum tinggi, tapi apa iya pantas diperlakukan demikian. Saya belum paham bahwa “undangan” untuk menelepon sang manajer adalah basa-basi belaka. Dan copy-paste surat formal.

Pengalaman di atas saya tulis di sini sebagai reminder untuk diri saya sendiri. Bahwa kita hidup di era broken promises, era janji yang tidak dipenuhi. Era di mana kita cenderung untuk menganggap begitu ringan kata-kata kita sendiri. Terlalu banyak basa-basi. Kalau 23 tahun yang lalu dengan teknologi copy-paste sudah demikian, apalagi sekarang di erasmartphone dan medsos.

Kadang kita kontak “teman” di medsos, minta tolong atau bertanya satu dua hal. Kemudian di akhir chat, kita bilang “yuk lunch minggu depan ya” walau kita tahu persis kita tidak ada niatan untuk melaksanakan ajakan ini. Atau ajakan ngopi. Atau janji mampir ke kantornya kalau kita ke daerah situ. Semua dengan mudahnya tidak kita penuhi. Persis sama dengan sang manajer HRD tercinta tadi.

Masalahnya di mana?

Masalahnya adalah mengatakan hal-hal yang kita tidak benar-benar serius dalam makna, akan ada kemungkinan tertanam menjadi kebiasaan. Apalagi kalau kita melakukan basa- basi ini dalam waktu waktu yang lama. Kebiasaan ingkar janji mungkin akan bermuara pada hilangnya kredibilitas kita. Dan akhirnya kepercayaan yang diberikan ke kita menjadi hancur tak tersisa. Hubungan yang adapun menjadi kenangan semata.

Pikiran adalah aset terbaik kita. Setiap saat kita gagal untuk melakukan hal yang benar, kita sedang membesarkan kebiasaan yang tidak tepat di pikiran. Dan akhirnya di tindakan kita.

Di dunia pasar saham apalagi. Kata-kata adalah janji kita, jadi lebih baik jangan membesarkan kebiasaan janji-janji palsu, bahkan untuk hal yang kelihatannya remeh temeh belaka. Ketika kita berjanji ke rekan atau klien atau teman atau keluarga, ayo coba lakukan. Termasuk janji ajak makan siang dan ngopi, atau sekadar mampir. Kadang tanpa terasa kita janjian bertemu dengan teman, tiba-tiba waktu setahun sudah lewat begitu saja. Juga ketika kita berjanji untuk lebih ada work-life presence, untuk hidup lebih sehat, dan untuk mempelajari hal-hal baru misalnya. Sebaiknya kita penuhi janji-janji ini.

Sekali lagi, saya hanya sedang mengingatkan diri sendiri. Supaya saya tidak mengulangi perbuatan si manajer HRD tadi.

Dua puluh tiga tahun yang lalu. Kok masih ingat? Itulah. Saya yakin si manajer HRD sudah langsung lupa lima menit setelah kejadian itu, karena tidak penting baginya. Asimetris sekali sifatnya. Kata-kata itu begitu powerful.

Lebih baik berfokus ke berbuat hal-hal baik ke sekitar, baik kepada mereka yang saya kenal ataupun tidak. Karena dengan berbuat baik tadi, saya akan makin menyukai diri sendiri. Kalau saya menyukai diri sendiri, maka harga diri akan makin tinggi dan saya akan lebih bahagia.

“Words hold great power. The moment someone says such words to you, a new field of possibility opens up for you. Words can become the seed of reality”
Love For Imperfect Things, by Haemin Sunim

...
Written by Wuddy Warsono, CFA
List of Authors
Subscribe
Get up-to-date information by signing up for our newsletter
Contact Us
We are happy to answer any questions you may have
Address
Sahid Sudirman Center
Jalan Jend. Sudirman Kav.86, Lantai 12
Karet Tengsin, RT.10/RW.11
Daerah Khusus Ibukota Jakarta
10220