To pee or not to pee?
Pertanyaan ini yang tadinya tidak pernah
dipikirkan, sekarang tiba-tiba menjadi pertimbangan utama selama 96 jam di
rumah saya.
Rumah kami kebetulan menjadi bagian dari Jakarta
yang merasakan dampak kekeringan. Daerah rumah tinggal kami di Jakarta Selatan
memang tidak mempunyai akses ke air PAM, jadi sepenuhnya bergantung pada air
tanah. Tentu kami merasa bersalah harus pakai air tanah tapi tidak ada pilihan
lain mengingat air PAM memang tidak tersedia.
Sempat waswas ketika persediaan air dari jet
pump mulai melambat, akhirnya harus menerima kenyataan air di keran rumah
kami akhirnya berhenti total. Mandek dek. Untungnya masih ada cadangan sedikit
di tandon air (water tank).
Dengan tuntutan situasi yang kami hadapi, skill
matematika pun tiba-tiba terpakai secara intensif. Kami mulai berhitung,
jika tiap flush toilet menghabiskan 2 liter air, seberapa jauh sisa
air di tandon bisa membantu sekeluarga sampai supply air balik
normal lagi. Juga mulai menyusun skenario, bagaimana kalau kami
kombinasikan dengan mandi di kantor dan di gym, misalnya. Marah nggak
ya studio yoga kalau saya datang cuman untuk numpang mandi?
Berbagai permutasi dan simulasi kami lakukan
untuk melewati masa-masa tanpa air di rumah ini, dengan memperhitungkan
(masukan dari ahli pompa air) kapan kira-kira air bisa normal lagi. Tidak
terbayang kalau mata kena sampo dan tiba-tiba sisa air di tandon habis total
dan air dari shower berhenti mengalir. Jujur, bayangan bathroom
demon ala Sadako-pun sempat terlintas.
Penjual air galonan di kompleks juga menjadi
bagian dari solusi. Lumayan paling tidak soal mandi bisa di variasi dengan
kombo air galonan, mandi dengan gayung yang mengingatkan jaman-jaman dulu
sewaktu shower masih jadi barang mewah. Juga, wet wipe yang
biasa kami pakai waktu traveling pun kami coba. Pokoknya apa saja
untuk urusan survival.
Menghadapi urusan air ini mengingatkan saya akan
satu hal yang pernah dibilang oleh political scientist terkenal asal
Amerika Joseph Nye “Rasa aman itu seperti oksigen, kita seringkali tidak
memperhatikannya sampai oksigen itu tidak lagi ada.”
Seperti halnya rasa aman dan oksigen, demikian
juga dengan air. Begitu parah penurunan kualitas hidup kita begitu air di rumah
berhenti mengalir dan harus mengandalkan air galonan yang tidak praktis dan
mahal itu. Tapi saya toh sering lupa, take it for granted,
lupa menghargai air yang mengalir, lupa bersyukur.
Juga peristiwa mati air ini membuat saya
berpikir, kadang kita suka lupa kalau pada suatu masa nanti, kita akan memasuki
periode pensiun. Periode di mana penghasilan kita tidak sama dengan di
usia-usia produktif.
Penghasilan kita di usia produktif itu seperti
air yang mengalir di keran rumah kita. Sebenarnya manusiawi kalau kita juga
lupa menghargainya. Lupa kalau akan ada masa-masa di mana kita tidak lagi di
puncak produktivitas kita. Padahal kebutuhan hidup pada waktu itu mungkin akan
tetap tinggi, kalau tidak untuk traveling, paling tidak untuk biaya
kesehatan.
Pada waktu kita di puncak karier kita, godaan
memang banyak. Ada satu quote menarik dari film favorit saya Fight
Club:
“We buy things we don’t need, to impress
people we don’t like”.
Kita membeli barang-barang yang tidak diperlukan,
untuk membuat wow orang-orang yang sebenarnya tidak kita sukai. Tanpa
disadari kita sering berbuat demikian. Kita sering lupa bahwa kita pantas untuk
dicintai bukan karena dianggap “berhasil dan ditunjukkan dengan barang-barang
yang dimiliki” tetapi pantas dicintai karena eksistensi kita pun sudah berharga
dan itu saja sudah membuat kita layak dicintai.
Ada dua cara untuk merasa memiliki hidup yang
berkecukupan.
Cara pertama adalah dengan berusaha memiliki
semua yang kita inginkan.
Cara yang kedua adalah dengan membuat diri kita
menginginkan segala sesuatu yang sudah dimiliki. Menghitung berkat, bukannya
bersaing “sudah punya apa” dengan teman dan tetangga.
Tentu cara kedua jauhhhh lebih mudah. No
contest. Kalau hidup ini masih mau diumpamakan sebuah perlombaan, kita
perlu ingat bahwa ini perlombaan jangka panjang. Kadang kita di depan dan
kadang di belakang. Pada akhirnya, kita akan sadar bahwa perlombaan ini hanya
dengan diri sendiri.
Dengan mengadopsi mindset yang kedua,
secara magical akan ada kelebihan dana. Ada bagian dari penghasilan
kita yang bisa disisihkan untuk berinvestasi, dengan secara teratur di pasar
saham misalnya. Secara bertahap, tanpa kita sadari, ini akan menjadi kebiasaan
(habit) dan memungkinkan kita mencapai kemerdekaan finansial. Karena
kemerdekaan finansial itu indah dan memungkinkan untuk diraih.
Kenapa kemerdekaan finansial itu indah? Karena
kita kita tidak perlu lagi selalu harus bertanya: to pee or not to pee?
Written by Wuddy Warsono, CFA