Mari Lompat!
10 September 2019
Pagi ini saya tengah menikmati kemacetan biasa di pagi yang indah di Jakarta. Mungkin terdengar aneh, ada orang yang menikmati kemacetan. Ya, menurut saya ada dua pilihan: mengubah kemacetan Jakarta atau mengubah sikap saya dalam menghadapi hal ini. Berhubung yang pertama masih berusaha digodok solusinya oleh pak Gubernur yang sedang memperluas ganjil genap, membatasi usia mobil, dan sejuta upaya lainnya; rasanya lebih bijak kalau saya memutuskan untuk menikmati kemacetan daripada menggerutu setiap hari.

Hampir setiap hari saya memilih untuk naik GoCar, GrabCar atau taksi untuk pergi ke kantor. Pulang kantor, saya tak masalah naik transportasi publik seperti MRT atau TransJakarta. Seberapapun lelahnya saya, akan terbayar sesampainya di rumah. Saya tinggal mandi dan rebahan. Tapi, di pagi hari, saya harus menjaga mood baik karena itu atau menentukan suasana hati sepanjang hari. Demi investasi perasaan ini, saya rela merogoh kocek lebih dalam.

Kembali ke cerita pagi tadi, saya sedang asik mendengarkan siaran radio ketika tiba-tiba di ujung mata terlihat ada satu motor ojek online berpenumpang yang motornya oleng ke kiri. Mata saya langsung mencari apa penyebabnya. Apakah mobil di belakang motor itu yang menyundul? Apakah supir motornya yang sibuk nyelip bak pembalap sampai terjatuh? Ataukah memang jalanan terlalu padat hingga motornya terhimpit dan hilang kendali?

Lamunan ala detektif ini sontak terhenti ketika saya melihat ada seorang pemuda yang langsung lompat dari bangku penumpang motornya dan membantu. Ia membantu mengangkat motor dan memindahkannya ke sisi jalan sementara sekitar 10 motor lainnya hanya melihat. Mungkin mereka semua sedang sibuk membayangkan siapa yang harus disalahkan seperti yang saya lakukan barusan.

Setelah situasi mereda, dan jalanan mulai lancar kembali, saya jadi memerhatikan samaritan yang baik tadi. Terlihat ia melompat-lompat kembali ke motor yang ditumpangi tadi. Ya, ia melompat karena ternyata ia hanya memiliki satu kaki. Langsung saja mulut saya ternganga. Dengan segala keterbatasannya ia langsung sigap membantu - dan setelah selesai ia tersenyum sambil melambaikan salam perpisahan ke orang yang ia tolong. Ia tidak berhenti dan menunggu sampai korban yang tampaknya masih shock mengucapkan terima kasih. Orang-orang di sekitar situ pun terlalu sibuk menghindar sampai-sampai tidak ada yang berhenti untuk bertepuk tangan atau selfie bersama sang 'pahlawan'. Ia jelas tidak berhenti sejenak untuk instastory bersama supir dan penumpang yang jatuh tadi. 

Semua baik-baik saja. Saya pun kembali melanjutkan perjalanan sampai di kantor. Tapi, benak saya tidak bisa memikirkan kejadian pagi tadi.

Hal ini sedikit menyentil saya. Kenapa saya yang sedang duduk manis di taksi ber-AC, diam saja melihat kejadian buruk, sementara pria tadi bisa dengan sigapnya membantu orang asing, padahal ia sendiri harus bersusah-payah melakukannya.

Kuncinya ada pada rasa nyaman.

Bahasa anak sekarang mager, alias malas gerak.

Refleksi sedikit, dulu saya selalu iri sama teman-teman saya yang pintar menabung. Saya lahir dan besar di keluarga yang berkecukupan. Hidup kami tidak mewah, tapi tidak kekurangan. Papa saya adalah seorang pelukis, dan ia adalah pencari nafkah tunggal di keluarga. Jadi siklus hidup mewah ketika lukisan laku, dan hidup irit ketika lukisan belum terbeli sudah menjadi hal lumrah. Tapi lagi-lagi, kami tidak pernah kekurangan.

Saya tumbuh besar seperti ini, sampai-sampai saya punya kepercayaan yang luar biasa kalau rezeki akan selalu datang saat kita membutuhkannya. "Doa saja," kata ayah. Kalau kita minta pasti akan diberikan. Ini adalah mantra yang mengikuti saya hingga saat ini. Saking percayanya pada kekuatan doa, sampai-sampai saya tak percaya sama konsep menabung.

Jadi, saat di tahun kedua kuliah saya sudah bekerja dan memiliki penghasilan yang lumayan, ya uangnya habis tak bersisa. Uang masuk artinya harus dihabiskan. Saya juga bukan orang yang gemar barang branded. Jadi sebagian besar uang akan dihabiskan untuk membahagiakan orang-orang yang bikin saya bahagia. Uang habis, ya kan ada kartu kredit. Nanti juga rezeki datang. Seperti inilah kehidupan saya berjalan hingga saat ini. Tidak pernah kekurangan.

Tapi, saya akan iri setengah mati kalau ada teman saya yang memiliki tabungan. Dulu di kampus, sahabat saya tak sengaja meninggalkan slip tabungannya di meja makan. Saat itu mata saya terbelalak melihat angka tabungan yang besarnya sekitar 1 tahun penghasilan saya. Lamunan ala detektif saya muncul... Duit darimana ini? Apa ini hadiah dari orang tuanya? Kenapa orang tua saya tidak pernah memberikan uang 'modal' untuk saya ya? Kok duitnya sebanyak ini, padahal saya sering traktir dia di kantin? Berbagai teori konspirasi muncul di benak saya. Saat itu saya tidak tahu jawabannya.

Sekarang saya tahu. Saya terbuai dalam zona nyaman. Saya tidak pernah merasakan kekurangan jadi tidak pernah merasa takut. Karena tidak pernah merasa takut, saya terus menjalani hidup seperti itu-itu saja. Saya tidak pernah bermimpi untuk menembus langit-langit potensi, karena ya di tempat sekarang saja sudah nyaman. Why bother?

Sebaliknya, pria berkaki satu tadi pasti memahami rasanya terbelenggu dalam keterbatasan. Ia bisa saja menggunakan kakinya sebagai alasan untuk menyerah dan berdiam diri sementara orang lain akan mengurusnya. Tapi, ia mendorong dirinya setiap hari untuk menjadi orang yang lebih baik lagi. Terus mendorong diri sampai akhirnya ia menjadi pahlawan hebat yang saya temui hari ini. 

Sama halnya dengan sahabat saya. Ia juga lahir dan besar dari keluarga berada. Tapi, ia melihat dan belajar dari hidup orang-orang di sekitarnya. Ia menyaksikan bagaimana orang tuanya menjadi 'penyelamat' bagi saudara-saudara yang kurang beruntung. Ia menyaksikan bagaimana orang tuanya dengan penuh kerja keras bisa membiayai enam anak hingga ke jenjang pendidikan yang tinggi. Ia tak mengenal zona nyaman, karena ia punya mimpi untuk bisa S2, S3 dan terus sampai ia menjadi profesor. She's fearless.

Baru-baru ini saya mendengarkan podcast Tony Robbins yang bertajuk, "Fear will destroy you or drive you." Saya amat tertarik mendengar kisah motivator ini saat ia menjelaskan caranya memulai hari. Setiap pagi, ia akan melompat ke danau di depan rumahnya yang airnya super dingin. Air ini sangat dingin, dan ia selalu memaksa dirinya untuk melompat sebelum memulai hari.

Reflek yang akan selalu muncul adalah pertanyaan dan keraguan. "Aduh, nanti saja deh." "Oke saya akan lompat lima menit lagi." "Ngapain sih saya harus melakukannya?" dan hal ini juga sering kita alami saat hendak keluar dari zona nyaman. Kita sibuk meragukan diri dan mengalihkan perhatian, sehingga seringkali yang direncanakan tidak kejadian.

"I train myself not to negotiate with myself," ujar Tony Robbins. Ini persis apa yang dilakukan oleh pemuda tadi. Ia melihat sesuatu yang salah, ia langsung bertindak tanpa pikir panjang. Kalau kata brand sepatu itu, Just Do It!

Sekarang saya tidak mau lagi berpuas diri hidup "tidak kekurangan". Saya ingin bisa merasakan berkelimpahan. Saya ingin mendapatkan financial freedom. Saya ingin bisa bahagia bersama orang-orang yang membuat saya bahagia. Saya ingin bisa membuat orang lain bahagia.

Dalam mengelola keuangan, saya memakai tiga pedoman anti-takut ala Tony Robbins. Pertama, "Focus on what you have." Saat itu uang di tabungan yang tersisa hanyalah 500.000. Ini uang yang bisa saya tabung, di luar semua pengeluaran. Jadilah saya masukkan uang ini ke Rekening Dana Nasabah yang diperuntukkan untuk investasi. Yah, masih banyak kok saham yang bisa dibeli dengan uang terbatas ini. Setiap hari saya bersemangat melihat profit yang hanya cukup untuk beli Kopi Kenangan. Tapi rasanya ini seperti melihat tanaman yang mulai tumbuh perlahan tapi pasti. Sungguh menyenangkan.

Tip kedua adalah, "Focus on what you can control, not what you can't control." Ini adalah satu poin yang amat menenangkan saya karena semua tahu dunia pasar modal amatlah tak terduga. Segala hal yang bisa naik, pasti akan turun. Kita tidak bisa mengendalikan laju saham di pasar modal. Jadi, yang bisa kendalikan adalah kemampuan kita dalam membaca gerak-gerik saham. Kita bisa belajar berbagai metode analisis. Kita bisa memelajari kondisi perusahaan yang kita beli sahamnya. Kita bisa membaca berita dan memperhatikan kondisi dunia dan Indonesia sehingga kita akan jadi makin bjiak dalam menentukan saat yang tepat untuk membeli atau menjual. Kita juga bisa mengendalikan berapa besar angka cut loss atau persentase rugi yang siap kita terima. 

Tip yang terakhir dari Tony Robbins mengenai cara meninggalkan rasa takut adalah, "Focus on your present, and the future, not on the past." Masa lalu, tinggalkan saja di belakang. Segala ketakutan kita, rasa gundah, pengalaman buruk, dan sejuta hal lainnya. Sebaliknya tentukan target kita untuk masa depan. Apa goal kita? Beli rumah? Bikin usaha? Atau pensiun dini dan menghabiskan sisa usia keliling dunia? Setelah mimpi terlihat jelas, kita jalankan rencana yang sudah kita susun. Metode investasi apa yang cocok untuk mencapainya. Lalu, setiap langkah atau usaha yang kita lakukan akan terasa amat menyenangkan karena itu artinya kita selangkah lebih dekat menuju tercapainya impian.

Jadi, apakah kamu sudah siap untuk 'LOMPAT'?

Written by Oriana Titisari
List of Authors
Subscribe
Get up-to-date information by signing up for our newsletter
Contact Us
We are happy to answer any questions you may have
Address
Sahid Sudirman Center
Jalan Jend. Sudirman Kav.86, Lantai 12
Karet Tengsin, RT.10/RW.11
Daerah Khusus Ibukota Jakarta
10220