Peter Pan dan Gosip Ekonomi di Neverland
17 April 2025
Mari bercerita tentang sebuah negeri yang sangat jauh—tempat logika dan dongeng bertabrakan setiap hari.

Bukan negeri biasa, tentu saja. Ini negeri yang tidak pernah benar-benar dewasa. Di sana, anak-anak bisa terbang, Kapten Hook selalu punya rencana rahasia, dan waktu… ya, waktu kadang lupa berjalan.

Nama negerinya… Neverland.

Nah, di Neverland ini, belakangan ada satu kata yang sering diucapkan oleh semua orang: KRISIS.

Burung-burung mulai berkicau tentangnya. Daun-daun gugur lebih cepat karena takut. Bahkan Tinkerbell dan para peri lainnya ikut bergosip, mulai membicarakan neraca perdagangan dengan sangat serius—padahal mereka sendiri tidak tahu cara membaca grafik.

“Awas!” Bisik mereka. “Kita akan jatuh seperti tahun 1998!”

Ada yang mulai menggenggam kursi dengan cemas. Ada yang memeluk dompet erat-erat. 

Semua gaduh. Semua panik. Seolah-olah langit akan runtuh besok pagi. 

Tapi di tengah keributan itu, munculah seorang tokoh yang nyeleneh tapi tenang.

Sangat tenang. Bahkan terlalu tenang, menurut para peri tukang gosip.

Namanya… Peter Pan.

Namun Peter Pan ini tidak membawa pedang. Ia datang membawa dua hal yang tidak populer di negeri yang suka berisik: nasi bergizi dan cara berpikir logis.

“Katanya krisis?” Katanya pelan, sambil mengangkat satu alis. “Mungkin iya. Tapi krisis bukan berarti kita tenggelam, kan? Dan bukankah kita sudah pernah melewati badai dan ombak yang menggulung lebih besar?”

Dan kalian tahu apa yang terjadi setelah itu?

Neverland, yang biasanya hidup dari dongeng-dongeng ekonomi dan ketakutan kolektif, mulai diam.

Pelan-pelan.

Tak langsung paham, tapi mulai mengerti.

Dulu mereka bilang perbankan seperti rumah dari kartu—sekali tiup langsung rubuh. Tapi sekarang? Rumah itu dibangun dari bata-bata tebal. Bahkan sempat dihantam badai bernama COVID tanpa ambruk sedikit pun.

Tentu saja, Neverland juga bukan tanpa celah.

Kadang peri-peri tak sempat menyebar serbuk gizi ke semua hutan. Ada sudut-sudut pulau yang tak kebagian cahaya pagi. Ada anak-anak yang masih terbang dengan perut kosong—sayapnya lelah, bukan karena malas, tapi karena tak cukup tenaga.

Harga-harga pun kadang naik turun. Tadi pagi mereka manis seperti gula-gula, tapi sore hari bisa berubah jadi pahit tak terkira. 

Beberapa jaring pengaman yang dirajut di antara pohon-pohon raksasa masih berlubang di sana-sini—kadang cukup besar untuk membuat satu keluarga jatuh.

Tentu saja, Neverland belum sempurna.

Tapi bukan berarti rusak.

Pulau ini masih hidup.
Masih berdenyut. Masih belajar.
Masih bisa bermimpi sambil membenahi apa yang retak—pelan-pelan, tanpa perlu panik.

Namun, justru ketika pulau itu mulai belajar tenang, ketika angin mulai sepoi, dan peri-peri membuka lagi lembar-lembar harapan, di kejauhan... terdengar suara kapal kayu mendekat.

Kapten Hook datang lagi.

Ia berdiri di ujung kapal bajak laut, mengibarkan grafik merah, mengangkat teropong, dan berteriak:

“Krisis datang! Neverland akan tenggelam! Defisit akan meledak! Pegang dompetmu! Lindungi tabunganmu!”

Beberapa peri langsung panik. Para putri duyung mulai membuat ramuan darurat. Bahkan suku-suku asli Neverland ikut memeluk celengan.

Tapi dari pohon tertinggi di Neverland, Peter Pan turun pelan-pelan. Tak cuma bawa teh dan tersenyum dengan tenang, tapi… ia membawa… data.

“Defisit?” katanya sambil menepuk lutut. “Angkanya aman. Per Februari, defisit kita hanya 0,13% dari PDB. Jauh dari ambang 3% yang ditakut-takuti itu.”

Para peri tukang gosip terdiam. Bahkan angin sempat berhenti sejenak.
“Lalu katanya sistem keuangan rapuh?” Peter mengangkat alis. “Capital Adequacy Ratio perbankan kita di atas 20%. Bandingkan dengan Korea Selatan 15%, China 13%, Malaysia 17%.”

Hook mulai kelihatan gelisah. Tapi Peter Pan belum selesai.

“Utang luar negeri? Rasio cadangan devisa terhadap utang jangka pendek kita 171%, itu artinya, kita punya napas yang panjang. Lebih tinggi dari Malaysia dan mendekati Korea. Oh, dan statistik utang kita lengkap, tidak seperti tahun 1998 yang kalian suka ulang-ulang seperti kaset rusak.”

Ia berjalan mendekat ke kerumunan peri dan berkata lebih pelan:

“Dan jangan lupakan LPS. Lembaga Penjamin Simpanan kita kini punya aset Rp 224 triliun. Menjamin 99,9% rekening simpanan. Kita tak lagi hidup di masa rumah kartu. Sekarang kita punya fondasi.”

Hook terdiam. Peta ramalan merahnya mulai lecek diterpa angin fakta.

Para peri, untuk pertama kalinya, tidak langsung panik. Mereka diam, lalu mulai saling melirik… dan pelan-pelan melipat grafik mereka sendiri.
Peter hanya tersenyum tipis dan menambahkan:

“Tenang. Kita di Neverland. Dan negeri ini masih bisa berenang.”
Tentu saja, Peter Pan tidak berhenti di situ.

Alih-alih membagi-bagikan permen seperti pahlawan populis di buku dongeng lama, ia membawa sesuatu yang lebih penting: makanan bergizi ke sekolah-sekolah.

Bukan nasi dan saus seadanya, tapi makanan yang bisa mengenyangkan perut sekaligus menenangkan masa depan. Anak-anak pun bisa belajar tanpa harus menahan lapar. Bahkan bukan hanya anak dari keluarga miskin, tapi juga anak dari rumah-rumah yang sering tak disangka butuh.

Dan di pojok pulau, diam-diam ia mendirikan alat ajaib bernama Danantara.

Bukan tongkat sihir, bukan lampu ajaib. Tapi alat yang bisa menggandakan potensi dari dalam negeri—dari BUMN, dari tenaga kita sendiri.

Tanpa sihir, hanya dengan niat dan akal sehat.

Apakah semua langsung jadi sempurna?

Tentu tidak. 

Akan selalu ada Kapten Hook baru, membawa isu baru, menakut-nakuti lagi.

Akan selalu ada grafik merah.

Selalu ada peri-peri jahil yang menyamar jadi ahli ekonomi.

Tapi… Neverland kini punya satu hal yang sudah lama hilang: ketenangan.

Mungkin… hanya mungkin... Neverland tidak butuh pahlawan ‘super pintar’.

Neverland cuma butuh seseorang yang cukup keras kepala untuk tetap bekerja, cukup lembut untuk berbagi, cukup tenang untuk tidak ikut panik… dan cukup berani untuk berkata:

“Makan dulu. Kita bisa hadapi ini bersama.”

Dan negeri ini, yang katanya mau jatuh, mungkin sebenarnya cuma… kelelahan.

Ia butuh rehat, bukan panik. Butuh dibenahi, bukan ditakuti.

Dan mungkin… setelah tidur siang yang cukup, Neverland akan bangun lebih kuat dari sebelumnya.
Written by Deby Valentyani
List of Authors
Subscribe
Get up-to-date information by signing up for our newsletter
Contact Us
We are happy to answer any questions you may have
Address
Sahid Sudirman Center
Jalan Jend. Sudirman Kav.86, Lantai 12
Karet Tengsin, RT.10/RW.11
Daerah Khusus Ibukota Jakarta
10220