Danantara, Kolak dan Kacang Ajaib
19 March 2025
Beberapa waktu lalu, saya duduk di acara Sucor Spotlight sambil menahan lapar dan dahaga—karena, ya, saat itu saya sedang puasa Ramadan. Fokus mulai buyar, pikiran mulai melayang, dan sesekali saya merasa seperti mencium aroma kolak yang entah dari mana asalnya. Tapi begitu diskusi dimulai, tiba-tiba rasa kantuk dan lapar sedikit berkurang. Apalagi saat mendengar angka USD 900 miliar disebut-sebut, seketika otak saya kembali online.

Danantara, Sovereign Wealth Fund terbaru Indonesia, digadang-gadang punya potensi besar. Asetnya mencapai USD 900 miliar—angka yang bikin mata berbinar-binar. Pak Pandu Sjahrir, selaku CIO Danantara Indonesia, menjelaskan bahwa ini bukan proyek jangka pendek, melainkan strategi panjang untuk membentuk "Indonesia Inc."—sebuah negara yang lebih mandiri dalam investasi dan pembangunan.

Bos saya, Pak Bernard pun berkata pada pidatonya saat membuka acara bahwa agar Danantara bisa benar-benar berdampak, transparansi dan tata kelola yang baik harus jadi prioritas. Tanpa itu, konsepnya bisa berakhir seperti proyek-proyek besar lain yang pernah kita dengar: hebat di teori, tapi goyah di praktik.

Mas Mike yang saya sebut-sebut sebagai ekonom akhir zaman pun ikut memberikan pemaparan. Tentu saja seperti biasanya, dengan bahasa ekonomi yang begitu megah dan saya coba pahami—bahwa ekonomi Indonesia tahun depan itu seperti kisah Jack dan Kacang Ajaib. Semua orang berharap bahwa biji kacang ini—yakni kebijakan ekonomi dan investasi yang dikucurkan—akan tumbuh menjadi pohon raksasa yang membawa kita ke negeri emas di atas awan. Tapi apakah benar di atas sana ada emas yang bisa dipanen, atau justru raksasa yang siap menghancurkan segalanya? Pemerintah punya visi besar, dari ketahanan pangan hingga energi, tapi eksekusinya yang menentukan apakah kita akan mendapatkan hasil nyata atau justru jatuh dari ketinggian tanpa pegangan.

Diskusi semakin menarik saat Pak Wuddy Warsono, yang bertindak sebagai moderator, melemparkan satu pertanyaan besar kepada Pak Pandu: Bagaimana strategi Danantara dalam lima tahun ke depan untuk menyeimbangkan perannya di pasar modal, membangun pasar obligasi, menjaga keseimbangan dengan sektor swasta, dan menentukan arah kebijakan antara pencairan dividen atau investasi jangka panjang, sambil tetap berada dalam ekosistem BUMN tanpa menimbulkan tarik ulur kepentingan?

Pak Pandu menjawab dengan percaya diri bahwa kuncinya ada di tata kelola dan eksekusi yang disiplin. Tapi tentu saja, ini akan diuji oleh waktu.

Obrolan ini mengingatkan saya pada pemikiran Frederic Engels, yang memimpikan negara utopia di mana setiap rakyat hidup makmur. Namun, sejarah menunjukkan bahwa konsep utopia sering kali sulit diwujudkan dalam dunia nyata. Sebagus apa pun sebuah teori, implementasinya tetap bergantung pada bagaimana manusia menjalankannya. Dalam ekonomi, tak ada yang bisa berdiri hanya dengan idealisme; yang dibutuhkan adalah keseimbangan antara visi dan realitas.

Jadi, apakah Danantara akan menjadi pohon kacang ajaib yang membawa kita ke negeri emas atau hanya dongeng yang berakhir tanpa hasil? Jawabannya masih terus berkembang. Tapi satu hal yang pasti: masa depan ekonomi tidak hanya milik mereka yang menunggu, tetapi juga mereka yang berani melangkah.

Setidaknya, begitulah diskusi yang saya simak sambil menunggu waktu berbuka. Perut mulai berorasi, aroma kolak makin menghantui, dan saya mulai mempertanyakan apakah ini diskusi ekonomi atau ujian ketahanan diri. Setelah semua analisis, strategi, dan perdebatan ini, satu pertanyaan penting muncul di kepala saya: jika Danantara bisa mengelola USD 900 miliar dengan baik, apakah saya juga bisa mengelola dompet saya sendiri hingga Lebaran tanpa kehabisan dana? Atau jangan-jangan, seperti halnya strategi mengelola keuangan, saya juga butuh diversifikasi—antara langsung menikmati kolak sekarang atau menyisihkan sedikit untuk membeli saham dan reksa dana agar bisa menikmati hasilnya di masa depan?

Pilihan yang tampak sederhana, tapi dampaknya bisa menentukan kebahagiaan jangka panjang. Dan entah kenapa, setelah semua analisis ini, yang paling pasti adalah saya tetap akan berbuka dengan kolak—karena jika harus memilih antara investasi dan kolak, saya rasa kebahagiaan jangka pendek kali ini menang telak.

 
Written by Deby Valentyani
List of Authors
Subscribe
Get up-to-date information by signing up for our newsletter
Contact Us
We are happy to answer any questions you may have
Address
Sahid Sudirman Center
Jalan Jend. Sudirman Kav.86, Lantai 12
Karet Tengsin, RT.10/RW.11
Daerah Khusus Ibukota Jakarta
10220