Playback: The Soundtrack of Us
10 October 2024



Tadi malam aku mengirimkan playlist musik pada dua sobat per-indie-an duniawiku, Anza dan Hanif. Kalau anak gaul zaman sekarang bilang, 'sobat per-skena-an.'

Playlist terkirim, kami putar bersama-sama

Sebuah lagu dari The Pains Of Being Pure At Heart, berjudul A Teenager in Love, band indie pop yang cukup digandrungi pada pertengahan tahun 2000an, melantun dengan santun—tapi kok rasanya hati ini jadi sendu.

Niat hati bernostalgia, malah berubah menjadi malam penuh tangis berjamaah. Bukan karena sedih, melainkan—ternyata perasaan kita sama. Sama-sama rindu masa itu. Masa-masa paling hebat. Masa-masa di SMA dan universitas.

Ingatan itu seolah muncul seperti potongan-potongan scene terbaik dari sebuah film paling favorite.

Aku, Anza, dan Hanif dipertemukan oleh semesta di tempat yang kini menjadi rumah kedua kami: Sucor Sekuritas. Padahal, kalau ditarik jauh ke belakang, benang merah kehidupan sudah lama menjalin kami.

Lingkar pertemanan yang sama, selera musik yang serupa, hingga hobi yang sejalan. Tapi lucunya, takdir justru membawa kami bertemu di sini.

Dulu, kami berpikir bahwa masa-masa saat di sekolah—bermain, menonton konser, jatuh cinta, patah hati, bertengkar, lalu berpelukan setelahnya, akan berlangsung selamanya.

Kami pikir, kami bisa terus saling mengenggam tangan, berjalan menantang dunia, memelihara ego sebesar dan seberat bumi juga seisinya, bersinar terang seperti purnama di langit malam.

Kala itu, masalah terbesar hanyalah soal uang saku yang terbatas, tiket konser yang mahal, atau keinginan memiliki sepatu Doc Martens dan jaket Stone Island agar terlihat seperti Damon Albarn dan Liam Gallagher. Dari Blur vs Oasis, hingga Tom vs Summer tidak pernah jadi soal, yang penting bisa punya obrolan ditongkrongan.

Kami benar-benar merasa seperti raja.

Jika mereka hitam, kami pun hitam. Mereka putih, kami juga sama. Persahabatan ini seperti keluarga kedua, musuh satu orang bahkan bisa menjadi musuh bersama. Ditulis di buku curhat, seperti di film Ada Apa Dengan Cinta? Deby sebagai Milly, Hanif sebagai Mamet dan Anza sebagai Cinta.

Hidup seakan penuh canda dan tawa tanpa akhir. Tidak ada beban, karena kami adalah remaja bebas, bukan seorang Atlas yang menanggung dunia di pundaknya.

Namun, waktu berputar. Masa-masa itu berlalu.

Hidup membawa kami ke tempat-tempat yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Sesekali, kami pun ditampar kenyataan. Bukan berarti hari ini kami tidak bahagia, tapi seperti kata The Strokes, "In many ways, they'll miss the good old days... Someday, someday."

Ternyata being adult is hard, tak semudah yang dibayangkan, tapi tetap bisa dijalani. Walau kadang nangis sedikit, luka sedikit, lalu disembuhkan sedikit demi sedikit, oleh sesuatu bernama waktu.

Ya, kini, tantangan hidup bukan lagi perselisihan kecil antar teman, tapi tentang pertentangan dengan pikiran-pikiran dalam diri sendiri. Tentang masa depan yang kami khawatirkan. Tentang rumah tangga yang kami rawat. Apakah anak-anak kami bisa bersekolah dengan baik? Apakah kami mampu memberikan cinta yang penuh dan layak bagi mereka?

Namun begitulah hidup, seperti naik turun harga saham—ada momen tertinggi, ada momen terendah. Tapi tak peduli seberapa besar fluktuasi itu, pasar selalu bergerak maju. Dan seperti itu pula kita: bertumbuh, terus melangkah, mau tidak mau, suka atau tidak suka. Karena, pada akhirnya, hidup tak pernah menunggu siapa pun untuk siap.
Written by Deby Valentyani
List of Authors
Subscribe
Get up-to-date information by signing up for our newsletter
Contact Us
We are happy to answer any questions you may have
Address
Sahid Sudirman Center
Jalan Jend. Sudirman Kav.86, Lantai 12
Karet Tengsin, RT.10/RW.11
Daerah Khusus Ibukota Jakarta
10220