Sebagai orang kidal, sejak kecil saya sering mendapat perhatian (yang tidak saya inginkan) dari orang lain, khususnya teman-teman di sekolah yang baru mengenal saya. Pertanyaan yang paling banyak dilontarkan bahkan hingga saya dewasa adalah “Oh, kamu kidal?” sembari melihat saya menulis dengan tangan kiri saya. Seringkali saya bergumam dalam hati, “Sudah jelas kelihatan sedang nulis pakai tangan kiri, masih saja bertanya.” Kan nggak mungkin menulis pakai tangan kiri karena iseng, apalagi kalau ujian. Pertanyaan tersebut biasanya diikuti dengan pertanyaan “Kalo makan pakai tangan apa?” Pertanyaan kedua masih dapat diterima karena masih banyak orang kidal yang mengggunakan tangan kirinya untuk makan, bahkan orang yang tidak kidal saja banyak yang pakai tangan kiri ketika makan menggunakan pisau dan garpu. Momen seperti ini kadang membuat saya berpikir tentang betapa kesalnya seorang figur publik dicecar pertanyaan yang sama hingga ratusan kali oleh wartawan, terlebih jika pertanyaannya memiliki jawaban yang obvious.
Struggle dan stigma yang diterima orang kidal juga beragam. Biasanya, kalau anak kecil bersalaman, atau menerima/memberi barang dengan tangan kiri, orangtua di sekitarnya akan mengingatkan dengan berkata, “Tangan bagusnya mana? Hayoo..” Ada benarnya, sih. Sebagai orang kebot, saya juga sudah terbiasa menggunakan tangan kanan saya untuk melakukan berbagai aktivitas yang tidak bisa dilakukan dengan tangan kiri. Namun, ini bagian dari stigma negatif yang melekat pada manusia-manusia kidal seperti saya.
Secara bahasa, kiri dalam Bahasa Inggris adalah left yang berasal dari Bahasa Inggris tua, lyft yang berarti lemah. Berangkat dari situ saja kaum kebot sudah bisa dibilang kaum “lemah”, hahaha. Apakah hal tersebut benar? Bisa jadi, tergantung sudut pandang. Sebagai orang kidal, sejak kecil saya merasakan sulitnya menggunakan barang sehari-hari yang dapat digunakan dengan mudah oleh “orang kanan”. Contohnya menggunakan gunting, pisau, duduk di bangku kelas yang terdapat meja kecil di sisi kanannya, pembuka kaleng, menulis di buku tulis (apalagi jika bukunya berspiral), hingga mouse komputer. Pertama kali saya belajar menggunakan komputer adalah saat berusia 6 tahun. Hal tersulit saat belajar? Bukan mengoperasikan komputernya, melainkan menggerakan mouse dari bagian tengah layar ke tombol Start. Untung saja menulis di komputer perlu dua tangan.
Seiring berjalannya waktu, kami para kidal terpaksa beradaptasi di “dunia kanan” sehingga saat dewasa kami terlatih menggunakan tangan kanan kami. Mau bagaimana lagi, kami minoritas, hanya ada 10 – 15% dari total populasi dunia. Mungkin itu salah satu alasan sebagian orang ada yang ambidextrous (mampu menggunakan kedua tangan sama baiknya). Jadi, wajar saja banyak benda di kehidupan sehari-hari yang tidak ramah bagi manusia kidal.
Sebagian orang mungkin akan menganggap orang kidal merupakan underdogs jika merujuk pada berbagai “penderitaan” orang kidal yang sebagian sudah saya jabarkan di atas, apalagi ada studi yang mengatakan orang kidal memiliki penghasilan rata-rata sedikit lebih rendah dari para righties. Meski begitu, banyak atlet, aktor, dan musisi legendaris yang kidal. Ditambah, banyak orang kidal mampu menjadi pemimpin ikonik di dunia. Sir Winston Churchill, Barack Obama, Ronald Reagan, Queen Elizabeth II, mereka semua kidal. Bersyukurlah teman-teman kidal, kita terlahir unik, manusia paling adaptif, dan mampu menggunakan tangan kanan kita lebih baik dari “orang kanan” menggunakan tangan kiri mereka. Mari kita berdoa semakin banyak benda yang diciptakan untuk manusia kidal di dunia ini. Untuk “orang kanan”, tenang saja, ini bukan perbedaan ideologi, hanya perbedaan cara kerja otak, hahaha.