Apakah Artificial Intelligence Adalah Bom Atom Berikutnya?
27 July 2023
Siang itu, aku menghabiskan waktu makan siang di kantin karyawan basement satu bersama rekan kerja sekaligus orang yang aku anggap sebagai kakak, mbak Ricca. Seperti biasa, obrolan kami ngalor ngidul, sebentar tentang urusan sekolah dan les anak, sebentar kemudian tentang deadline kerjaan.

Sambil mengunyah hihang hoheng karena saking panasnya di mulut, obrolan kami bermuara pada pembahasan film Oppenheimer yang baru saja ku tonton kemarin malam.

Kali ini obrolan sebentar itu berubah jadi diskusi panjang, agak serius dan penuh dengan pertanyaan-pertanyaan yang mungkin bisa dibilang absurd.

Ya, siapa sangka, Oppenheimer seorang fisikawan yang mempelajari fisika kuantum dan membawa ilmunya ke Amerika, berakhir menjadi Bapak Bom Atom karena keterlibatannya sebagai direktur Proyek Manhattan. Sebuah proyek nuklir rahasia pada era Perang Dunia II, yang menghantarkan kemenangan pada Amerika Serikat saat berperang melawan Jepang, dengan menjatuhkan bom berkekuatan 15 sampai dengan 20 kiloton TNT ke Hiroshima dan Nagasaki.

...
“Secara moral gimana?” Tanya mbak Ricca

“Ya dia merasa bersalah. Tapi pepatah bilang, sis vis pacem, para bellum. Jika mendambakan perdamaian, bersiaplah untuk berperang.”

Kami pun terdiam.

“Ironis ya…” ucap mbak Ricca.

Aku mengangguk.

“Saat itu, lebih dari 200 juta penduduk Jepang meninggal. Kebayang nggak 200 juta orang itu kan nyawa ya, bukan cuma sekedar angka…” Aku menggelengkan kepala.

...
“Terus menurut kamu, gimana dengan Artificial Intelligence? Apakah akan jadi senjata pemusnah massal berikutnya?” lanjutku.

Lagi-lagi obrolan ngalor ngidul berlanjut. Pemusnah massal? Apakah aku terlalu cepat menyimpulkan? Memangnya apa korelasinya?

Pikiranku melayang. Aku teringat, diskusi soal Artificial Intelligence ini pernah aku bahas beberapa tahun lalu dengan mendiang tante dan om ku. Pasangan nyentrik, sedikit ajaib, yang pemikirannya agak nyeleneh, tapi syukurnya masih bisa diterima oleh logikaku baik sebagai seorang keponakan maupun sebagai manusia pada umumnya.

Kala itu ChatGPT belum lahir, tapi isu soal peran manusia yang akan digantikan kecerdasan buatan sudah ramai diperbincangkan. Media cetak dan visual memberitakan ada banyak pekerjaan yang diproyeksikan akan hilang digantikan AI.

Ben Goertzel, pencipta robot Goertzel sekaligus pendiri SingularityNet, sebuah perusahaan yang meneliti dan menciptakan Artificial General Intelligence (AGI), yaitu kecerdasan buatan dengan kemampuan kognitif manusia memprediksi bahwa, 80% pekerjaan manusia akan digantikan AI.

“Lalu siapa yang akan bertahan?” Tanyaku pada si om dan tante.

Mereka berkata, yang akan bertahan adalah orang-orang yang mau menerima dan berdampingan dengan perubahan. Mau tidak mau, suka atau tidak suka.

“Kalau persentase yang disebutkan Goertzel tadi dianalogikan sebagai manusia diseluruh dunia artinya, ekonomi hanya akan berputar di 20% populasi saja, karena hanya mereka yang punya daya beli. Sementara 80% orang akan kehilangan pekerjaan. Kehilangan pekerjaan menyebabkan naiknya angka pengangguran, yang menyebabkan kemiskinan dan kelaparan. Kemiskinan dan kelaparan artinya akhir kehidupan manusia dong om, tante?” Aku bereaksi seketika, malas memikirkan variabel-variabel lain yang tentunya pasti ada.

Chill teh, chill... Mungkin gak se-ekstrem itu. Mungkin 20% populasi bisa makan nasi sama ayam goreng, 80% sisanya masih bisa makan nasi, tapi cuma sama tahu dan tempe. Tetap bisa makan, kan. Toh, inti dari hidup itu kan bertahan hidup…” ucap tante dan om ku bergantian.

Saat itu aku mengangguk. Bukan tanda setuju, tapi karena aku masih mencerna jawaban mereka.

Kesadaranku kembali penuh kepada mbak Ricca dan hihang hoheng yang berubah menjadi pisang goreng karena panasnya sudah berganti dingin.

Saat itu aku berpikir, om dan tanteku mungkin ada benarnya. Mungkin sementara ini, masalahnya hanya sesederhana soal lauk makan, soal ayam, tahu dan tempe. Tapi bagaimana dengan generasi anak dan cucu kita nanti ya? Apakah kompetisinya semakin sengit? Apakah masalah yang timbul akan semakin jelas? Apa benar Kecerdasan Buatan akan menjadi bom atom? Apakah aku harus mengajari anak-anakku bercocok tanam agar mereka bisa bertahan hidup dan tidak kelaparan nantinya? Atau justru ada perubahan yang justru lebih menguntungkan dan bermanfaat untuk kita umat manusia?

Kalau dipikir-pikir, kita toh belum sampai ke sana. Ngapain juga overthinking?

Lalu aku kembali berkontemplasi sendirian, di pikiran paling dalam. Ada beberapa alasan untuk percaya bahwa disrupsi besar-besaran akan datang, dan kita semua mungkin hanya membutuhkan waktu beberapa tahun untuk bisa sampai ke sana. Oleh karena itu kita harus siap dengan perubahan. Kita harus siap belajar dan berubah, lebih awal. Sebut saja ini sebagai tindakan preventif, toh tidak ada kerugiaan yang harus ditanggung, dan modalnya hanya satu, growth mindset.

"Hidup dapat memberikan segala pada barang siapa tahu dan pandai menerima.”

- Nyai Ontosoroh (Bumi Manusia - Pramoedya Ananta Toer)

Written by Deby Valentyani
List of Authors
Subscribe
Get up-to-date information by signing up for our newsletter
Contact Us
We are happy to answer any questions you may have
Address
Sahid Sudirman Center
Jalan Jend. Sudirman Kav.86, Lantai 12
Karet Tengsin, RT.10/RW.11
Daerah Khusus Ibukota Jakarta
10220