Saat ada perbedaan, terdapat orang yang bisa cepat beradaptasi namun juga ada yang mengalami hambatan. Tentu saja menjadi berbeda adalah keinginan dari beberapa orang karena bisa menjadi unik dan mencolok di tengah masyarakat tetapi juga ada orang yang minder saat di situasi yang sama.
Tidak bisa dihindari bahwa perbedaan merupakan bagian dari hidup kita, kita sering kali berkata kesempatan tidak datang dua kali. Memang tidak semua peristiwa bisa terulang, namun ada beberapa kejadian yang ternyata merupakan pengulangan masa lalu. Meskipun kejadiannya tidak terulang 100% sama tetapi secara garis besar apa yang terjadi cukup mirip.
Ketika terjadi pandemi Covid-19 yang menyebar ke seluruh dunia, yang awalnya kita tenang namun seiringan dengan transmisi virus yang meluas masyarakat pun juga jatuh dalam panik dari panic buying hingga panik di pasar modal Indonesia pada maret 2020. Percaya atau tidak, pada setiap krisis yang terjadi kita berpikir bahwa ini akan menjadi krisis yang besar dan seakan dunia akan berakhir. Namun berdasarkan data yang diambil dari bursa amerika, dari setiap krisis pasti ada pemulihan dan akan kembali normal.
Saat terjadi krisis, kita akan sering mendengar bahwa saat ini adalah momen yang berbeda. Sehingga tidak disadari bahwa kata-kata tersebut telah menyebabkan lebih banyak uang hilang daripada kejadian lain.
Setiap beberapa dekade, ekonom mengembangkan kepercayaan yang sangat tinggi mengenai efisiensi pasar dan kesehatan ekonomi. Dikenal sebagai "This Time is Different Syndrome,” Kondisi yang berbeda, tetapi pola pikir yang sama menyebabkan lahirnya campuran berbahaya dari keangkuhan, euforia, dan amnesia yang memimpin runtuhnya perekonomian pada masa-masa tersebut.
Selama 50 tahun terakhir, terdapat 5 krisis besar yang menghantam perekonomian maju yaitu pada 1977 di Spanyol, 1987 di Norwegia, 1991 di Swedia, 1992 di Jepang, dan 2008 di Amerika. Selalu sebelum terjadi krisis ini dimulai dengan aliran kapital masuk ke dalam negara tersebut melonjak drastis, terjadi di AS pada tahun 2005 (sebelum krisis keuangan global 2008). Adanya inovasi finansial cenderung mengarah ke krisis, dengan adanya dorongan arogan pasar akan merasa mampu untuk mengatasi segala kerumitan inovasi baru ini, padahal nyatanya tidak. Poin .yang tidak bisa dilewatkan adalah biasanya meledaknya pasar properti biasanya menandakan krisis keuangan. Liberalisasi keuangan sering mendahului krisis, sepanjang tahun 1980-an dan 1990-an, krisis keuangan hampir tak terhindarkan mengikuti serentetan peraturan keuangan yang dilonggarkan.
Ternyata pasar keuangan yang besar dan canggih rentan terhadap kehancuran seperti halnya pasar keuangan negara berkembang. Tidak ada perbedaan nyata yang membedakan krisis di negara-negara kurang berkembang (Indonesia, Filipina, Argentina, Kolombia) dari negara-negara di negara maju (AS, Inggris, Jepang).
Krisis keuangan mengikuti pola yang sudah ada. Pembuat kebijakan dan investor dunia membutuhkan sistem peringatan yang mengingatkan mereka akan bahaya dengan tanda-tanda leading indicator nya. Misalnya, sinyal resesi dapat memperhatikan leading indicator nya seperti fenomena Inverted yield US Treasury, data retail sales yang turun (demand side melemah), Production manufacture index yang melambat.
Pemikiran bahwa kali ini berbeda perlu diingat supaya dapat membantu kita untuk mengantisipasi kejadian yang akan datang.