Terlambat itu Hanya Alasan!
06 June 2023
Sebagai seorang anak yang tumbuh di era 2000an bersama kompetisi bernyanyi yang viral di layar kaca, aku selalu bercita-cita untuk menjadi penyanyi—paling tidak, bernyanyi depan banyak orang. Waktu sekolah dulu, masing-masing dari aku dan kawan-kawanku kompak membeli sebuah tas berbentuk koper untuk kami bawa ke sekolah. Kala pulang sekolah tiba, kami akan berpelukan, menggeret tas koper bergambar kartun milik kami dan berpura-pura ‘ter-eliminasi’ dari kompetisi bernyanyi (if you know, you know). Sayangnya, kala itu mimpi hanyalah sebatas mimpi. Kami hanya bisa berpura-pura dan berandai-andai.

Jam berdenting, hari silih berganti, aku pun tumbuh besar dan menemukan banyak pilihan jalan hidup yang tidak kalah menariknya. Satu hal yang tidak pernah kukubur dan tidak semua orang tahu, aku masih menyimpan hasrat untuk bisa bernyanyi di depan banyak orang. Hanya saja, aku tidak memiliki kepercayaan diri yang cukup untuk benar-benar bernyanyi hingga akhirnya aku hanya memendam keinginan ini dalam-dalam. Meski begitu, aku senang sekali bersenandung: saat sedang mandi, saat berkendara, dan setiap ada kesempatan akan kugunakan untuk sekadar bersenandung kecil.

......Meski senang bersenandung kecil, ada satu hal yang cukup mengganjalku untuk menjajal pelantang (mic) dan mulai bernyanyi: aku memiliki pitch[1] yang lebih tinggi dari rata-rata pria pada umumnya. Bagaimana tidak, di tengah gempuran penyanyi bersuara halus dan lembut setipe Vidi Aldiano, Marcell dan Afgan, aku memiliki suara yang cukup kencang sehingga terkesan mengganggu bagi sekitarku. Aku pun makin dalam mengubur keinginan bernyanyiku karena rasa malu atas suaraku. Apalagi, kalau aku sedang bergurau bilang ingin menjadi penyanyi, lingkunganku akan langsung mengejek dan menghujaniku dengan kalimat senada, “sudaaah, sudah telat kalau mau mulai umur segini. Udah ketuaan. Penyanyi kalau mau sukses mulainya dari kecil.” Terpengaruh? Tentu saja, aku yang tidak memiliki pengalaman apa-apa ini ya percaya percaya saja dengan omongan sekitarku. Asumsiku, menjadi penyanyi kan yang mendengar akan masyarakat, tentu masyarakat juga yang punya kendali atas karir seorang penyanyi.

Barulah sekitar tahun 2019, di usiaku yang menginjak 22 tahun aku memberanikan diri masuk ke ruangan karaoke dan mulai bernyanyi untuk pertama kalinya. Kala itu, lagu pertama yang kunyanyikan tentu lagu lagu hits yang lembut dan halus. Aku ingat betul, lagu pertama yang kunyanyikan adalah lagu milik Vidi Aldiano yang berjudul Nuansa Bening. Satu hal yang kuperhatikan kala bernyanyi, aku rupanya kesulitan menyanyikan lagu dengan mayoritas nada rendah tersebut. Salah seorang kawanku akhirnya menyarankan aku untuk menjajal lagu klasik milik Whitney Houston, I will Always Love You. Secara mengejutkan, aku mampu bernyanyi dengan santai dan menggapai nada yang, seharusnya, menjadi nada dasar milik seorang Wanita tanpa harus menurunkan nadanya.

Sejak saat itu, aku mulai ketagihan masuk ruangan karaoke. Setidak-tidaknya, aku akan menyempatkan waktu sekali dalam sebulan untuk bernyanyi di dalam ruangan karaoke. Disana aku bisa bernyanyi dengan lepas dan bernyanyi lagu apapun yang kusuka tanpa perlu khawatir dikritik atau ditegur karena terlalu berisik. Semakin lama, salah seorang sahabatku menyadari bahwa sebenarnya suaraku cukup unik dan bisa diasah. Ia yang akhirnya rutin mengajakku untuk bernyanyi sambil melepas penat. Ia juga yang menyarankan lagu jenis apa yang sekiranya cocok untuk jenis suara sepertiku. Semakin lama, aku semakin luwes dan relaks saat bernyanyi. Tidak perlu waktu lama untuk aku akhirnya menjajal panggung kecil di hadapan orang asing. Tahun 2019 akhir, aku disodori microphone oleh seorang penyanyi kafe dan kami berujung bernyanyi bersama. Gemuruh tepuk tangan dari para pengunjung yang notabene merupakan orang asing mengakhiri performa dadakan tersebut. Ego-ku mulai naik, aku merasa sepertinya aku bisa untuk bernyanyi. Sejak saat itu, frekuensi aku dan sahabatku untuk bernyanyi di ruang karaoke semakin intens. Setidaknya dua hingga tiga kali sebulan aku menyewa ruangan dan bernyanyi selama satu jam. Semua itu rutin kulakukan hingga aku mulai percaya diri bernyanyi di ruang publik. Siapa sangka, aku yang memulai bernyanyi di usia 22—yang orang bilang sudah terlambat, bisa lambat laun bernyanyi bersama penyanyi terkenal dan mulai mendapatkan spotlight? Fiersa Besari, Brisia Jodie, Yura Yunita, hingga Hedi Yunus sudah pernah kujajal untuk bernyanyi bersama. Gemetaran? Tentu saja, tapi kalau tidak dihajar, aku tidak akan punya kenangan yang bisa kutulis dan kuceritakan.

...Puncaknya, bulan Mei kemarin aku berkesempatan untuk menjajal kompetisi kecil-kecilan untuk menuntaskan rasa penasaran ini. Kompetisinya memang tidak sebesar ajang di televisi, namun cukup memacu adrenalin dan memberi reward yang dapat mengisi kantong. Hasilnya, aku berhasil meraih posisi kelima, atau Juara Harapan II. Kecewa? Normalnya, aku yang cukup ambisius dan kompetitif ini akan merasa kecewa. Tapi tidak dengan kemarin. Aku merasa sangat bangga dan senang meraih posisi kelima. Terlebih atas fakta bahwa aku baru memulai dunia tarik suara ini dan tanpa melewati proses Latihan profesional. I am enough.

...Selepas menerima penghargaan, aku pulang dengan hati yang penuh. Aku pulang dengan senyuman yang tidak lepas dari wajah. Dalam hati aku senang karena aku memilih untuk tetap memulai, tanpa peduli seberapa terlambat atau seberapa tua aku memulai. Rupanya, terlambat itu hanya alasan bagi mereka yang sudah menyerah. Selama ada jalan dan keinginan, jangan kubur mimpimu. Kalau mengutip salah satu jargon iklan terkenal, sih, ‘mulai aja dulu’. Sepanjang akhir minggu aku merenung, bagaimana kalau tempo hari aku tidak memutuskan untuk bernyanyi di ruang karaoke? Bagaimana kalau aku menolak bernyanyi kala disodorkan pelantang oleh penyanyi yang kutemui? Mungkin, impian hanyalah sebatas impian.

Lantas aku berpikir, mimpi apa lagi yang selanjutya harus kujajal? Apakah ini saatnya aku masuk ke dunia pasar modal? Apakah ini saatnya menghapus pikiran bahwa investasi hanya untuk orang-orang berduit?

Written by Billiansyah Abdillah
List of Authors
Subscribe
Get up-to-date information by signing up for our newsletter
Contact Us
We are happy to answer any questions you may have
Address
Sahid Sudirman Center
Jalan Jend. Sudirman Kav.86, Lantai 12
Karet Tengsin, RT.10/RW.11
Daerah Khusus Ibukota Jakarta
10220