Detoks Paska Pandemi
03 April 2023
Zaman Covid meninggalkan ragam kisah yang membekas. Walau sarat dengan kisah duka, ada beberapa hal dari zaman ajaib itu yang sebenarnya diam-diam kita rindukan. Misalnya, kita tak perlu lagi membuat janji ngopi yang tidak sungguh-sungguh akan diagendakan.

Mungkin benar jika dibilang bahwa hidup ini adalah misteri yang tak henti-hentinya mengelak dari akal sehat.

Kisah zaman covid yang aku ingat kali ini adalah tentang sebuah WA grup. Anggotanya adalah mantan kolega di salah satu bank asing tempat bekerja dulu di kota kelahiranku, Surabaya. Banyak anggota WA grup ini sudah mulai memasuki masa pensiun.

Kupikir, sudah sewajarnya di zaman Covid mereka pun memiliki kerinduan yang sama denganku. Kerinduan bersosialisasi, kerinduan untuk bercengkrama, kerinduan akan romantisme masa lalu mestinya sudah lebih dari cukup untuk menjadi alasan bergabung. Tanpa memperdulikan lagi apa pangkatnya dahulu. Tanpa sisa-sisa ekspresi keangkuhan korporasi. Juga tanpa batasan political correctness berlebihan, harapku guyonan khas Jawa Timuran akan mengalir jadi pemecah kebekuan dan obat rindu kami.

Undangan untuk bergabung dengan WA grup ini begitu mempesona dan langsung kuiyakan tanpa pikir panjang.

Setelah menyapa para anggota WA grup itu, kami pun sempat bertukar kisah hidup walau tidak meriah dan tidak sampai bikin lupa waktu. Obrolan di grup WA didominasi beberapa anggota yang lebih extrovert. Wajar-wajar saja, di mana-mana juga sama.

Tapi ada yang terasa janggal. Obrolan terasa serius, dan isinya didominasi ucapan selamat ulang tahun, ucapan turut berduka cita, dan perang stiker. Guyonan Jawa Timuran gagal hadir, terasa kering dan jujur…nggak lucu. Rupanya masih kental sekali jiwa korporasinya, membelenggu terasa tak lepas. Ada beberapa mantan bos masih menempatkan diri sebagai sang kepala suku, sang alpha sejati yang tak akan lekang dimakan zaman. Bertindak dan berbahasa persis sama waktu masih menjadi bos di era 90-an. Tegur sana, tegur sini, sambil pamer prestasi keluarga.

Tapi kan ini mantan kolega yang dulu berjuang sama-sama. Tempat para sahabat bukan? Di grup ini, kupikir bisa jadi diri sendiri. Tanpa perlu takut untuk terlihat bodoh. Di titik ini, aku justru membuat sebuah kesalahan. Karena berpikir ini adalah lingkungan yang aman, mulailah aku berbagi beberapa tulisan blogku, tanpa terlebih minta izin pada tuan rumah.

Dasar pemikiran sederhana. Kalau sebuah aktivitas dianggap layak buat dilakukan, tidak usah ragu untuk dibagikan ke lingkungan sahabat. Jangan takut terlihat bodoh. If a job is worth doing, it is worth doing well but also worth doing it badly. Masukan dan kritikan bisa digunakan untuk perenungan demi perbaikan diri.

Hanya dalam hitungan menit, di luar dugaan, seorang super alpha admin grup pun berkomentar “Jangan coba-coba berjualan apapun di sini, jualan di tempat lain saja.” Kurang lebih begitu. Postingan ini segera disambut tak kalah galak oleh seorang mantan manajer yang lain, juga salah satu tuan rumah WA grup. Intinya bilang kalau sampai semua orang diperbolehkan jualan di WA grup sakral ini, nanti penuh WA grupnya. Mungkin juga khawatir tidak cukup lagi ruang untuk perang stiker.

Dalam beberapa menit, mulai ada satu dua suara yang mencoba membantu menjelaskan. Suara dari mereka yang bersedia membaca terlebih dahulu apa yang aku coba tulis dan sampaikan. Mencoba menjelaskan bahwa tulisanku ini tidak berjualan apapun. Sekadar berbagi. Dan membuat pernyataan bahwa mereka sangat menikmati sepotong tulisan yang baru diposting itu.

Sempat terbersit di pikiranku, palingan juga sebentar lagi beberapa mantan manajer yang super galak tadi akan meralat pernyataan dilarang berjualan. Setelah membaca tulisan yang jelas-jelas tidak mencoba menjual apapun.

Ternyata ralat itu tidak pernah tiba, apalagi maaf. Seolah ada hak membentak dan menegur anggota WA grup, seperti waktu masih zaman menjabat dulu. Bahkan tanpa perlu membaca isi tulisan.

Tiba-tiba aku sadar bahwa aku terlalu berharap pada kekosongan, dan sudah saatnya untuk mengakhiri reuni singkatku dengan mantan kolega: exit group menjadi pilihan.

Maksud tulisan ini bukan untuk curhat. Juga bukan karena ada sisa amarah. Jujur aku pun tak merasa ragu untuk keluar dari grup. Karena aku punya hak seutuhnya untuk memilih lingkunganku. Aku adalah rata-rata dari lima orang di sekitarku. Nasib diserahkan pada kita untuk memilih, dan caranya adalah dengan memilih lingkungan tersebut.

Maksud tulisan ini adalah menjadikan hal di atas sebagai bahan perenungan dan pembelajaran. Ada beberapa hal soal amarah dahsyat dua manajer tadi.

Pertama, di tahun 90-an di bank asing tadi, aku adalah seorang tenaga penjual. Fast forward ke zaman sekarang, apapun yang aku lakukan otomatis masih dianggap sedang berjualan. Juga tenaga penjual di bank tadi sering dianggap warga negara kelas dua atau bahkan tiga. Jadi memang sering dijadikan target pelampiasan amarah para manajer yang sedang frustasi karena dilewatkan promosinya.

Kedua, aku merasa seperti sedang kembali diingatkan bahwa hanya dengan melewati hal-hal yang sulit dalam hidup dengan kesabaran, kemurahan hati, dan kerendahan hati, kita dimungkinkan untuk bertumbuh dalam kebajikan dan kebijakan. Titel bergengsi di bank prestisius bukan jaminan apapun untuk dapat bertumbuh.

Ketiga, mungkin mood kedua mantan manajer tadi sedang tidak baik. Aku merasa sedang kembali diingatkan bahwa kita bukanlah perasaan dan mood kita. Perasaan tidak harus menjadi refleksi hidup kita. Mood jelek bukan alasan buat mencaci sesama secara membabi buta.

Keempat, perilaku agresif dan keras dua mantan manajer tadi tentunya di luar kontrol aku. Tidak mungkin dapat aku cegah. Aku belajar bahwa yang dapat aku lakukan adalah tetap tenang dan secara sadar menolak untuk menerima perilaku agresif dan keras tadi. Juga menolak untuk ikut arus amarah, apalagi balik bersikap galak pada mereka. Hidup ini singkat. Tidak cukup waktu untuk marah-marah soal perkara remeh temeh yang nggak jelas.

Kelima, aku merasa sedang diingatkan untuk terus berdisiplin membaca (dan menulis). Dua mantan manajer tadi sudah meluapkan marah tanpa bersedia mengalokasikan sejenak waktu untuk membaca. Mungkin beliau berdua sudah lama tidak tersentuh bahan bacaan yang terstruktur dan kaya akan kata-kata. Akibatnya, beliau berdua mungkin mengalami kesulitan untuk mengekspresikan pikiran. Ketidakmampuan ini akhirnya bermuara pada kegelisahan dan tumbuhnya amarah.

Semakin banyak pilihan kata-kata, semakin efektif dalam mendefinisikan apa yang kita rasakan dan pikirkan. Yang tidak kalah penting, empati akan banyak terlatih ketika disiplin rajin membaca, karena kita terlatih untuk “memasuki” jiwa orang lain melalui pemikiran mereka yang tertulis dalam karya mereka. Buku adalah jendela ke jiwa, sekarang dan masa lalu.

Masih soal kebiasaan membaca, Charlie Munger, partner Warren Buffett, sering menekankan pentingnya kebiasaan ini dalam hidup. “You’d be amazed at how much Warren reads – at how much I read. My children laugh at me. They think I’m a book with a couple of legs sticking out.”

Ingin rasanya iseng kirim tulisan pembelajaran ini ke WA grup mantan kolega tadi. Buat bahan diskusi sambil guyon Jawa Timuran. Moga-moga kali ini bisa lebih lucu. Tapi aku sudah terlanjur exit. Yo wes, buat bahan refleksi diri sendiri saja.

Written by Wuddy Warsono, CFA
List of Authors
Subscribe
Get up-to-date information by signing up for our newsletter
Contact Us
We are happy to answer any questions you may have
Address
Sahid Sudirman Center
Jalan Jend. Sudirman Kav.86, Lantai 12
Karet Tengsin, RT.10/RW.11
Daerah Khusus Ibukota Jakarta
10220