“Duh, Ti… engap, ga sanggup gue…”
“Yok bisa yok, semangat Des, pasti bisa…” kata Astri yang juga biasa dipanggil Asti, si yang paling atletik di keluarga makan ceri(t)a.
Melihat salah satu influencer yang konsisten lari di akhir pekan, membuat saya juga ingin mencoba olahraga tersebut. Namun apadaya, saya yang mageran dengan hobi me-time di kamar sekalinya olahraga sungguh tersiksa rasanya.
“Des, jangan langsung lari, jalan cepat aja dulu, nanti kaget lho”, sahut Zizu
“Iya kak, jalan aja yuk sama aku”, sambung Maria
“Baiklah..”, akhirnya sore itu saya mengurungkan niat untuk berlari dan menggantinya dengan jalan sore mengelilingi area lapangan Gelora Bung Karno ditemani oleh Maria sedangkan Zizu, ia berjalan cepat dan Astri, ia lari selama 1 jam di GBK. Usai sore itu, saya semakin penasaran dan ingin bisa lari.
“Lari itu ada intervalnya Des, jangan langsung nge-gas, pelan-pelan aja. Coba lari pelan-pelan terus kalau capek ya jalan, gak apa-apa kok, yang penting konsisten”, ujar Astri.
Di akhir pekan berikutnya,saya memutuskan untuk lari pagi. Awalnya lari sebentar, kemudian berhenti lalu jalan kaki, sampai akhirnya di minggu ke -4 saya berhasil lari 1KM pertama. Wah begini ya rasanya, bisa lari tanpa jalan atau berhenti sedikitpun.
Limitating beliefs, sebuah kepercayaan atau pola pikir yang membatasi diri untuk mencapai potensi maksimal atau biasa disebut mental block. Ada beberapa pola pikir yang seringkali menjadi limitating beliefs dalam diri seseorang. Pertama disconnection belief, sebuah pola pikir yang membuat seseorang tidak berani menjadi dirinya sendiri karena takut tertolak atau tidak diterima oleh orang lain sehingga orang tersebut menyembunyikan sosok aslinya untuk diterima oleh orang lain. Kedua, unworthy belief, sebuah pemikiran dan juga perasaan dimana seseorang merasa tidak layak dalam segala hal, seperti tidak layak dicintai, tidak pantas menerima kebaikan dari orang lain, tidak layak dihargai. Keyakinan ini membuat seseorang menghindar bahkan menolak perlakuan dan hal-hal baik yang datang karena merasa dirinya tidak pantas. Ketiga failure belief, sebuah pemikiran takut akan resiko dan kegagalan, takut tidak dapat menerima atau menghadapi resiko yang akan muncul, takut tidak dapat memenuhi ekspektasi atau apa yang diharapkan sehingga tidak berani mencoba hal-hal baru, tidak berani mengambil keputusan dan resiko. Failure belief seringkali membuat seseorang beranggapan bahwa lebih baik tidak usah mencoba sama sekali daripada hasil akhirnya tidak sesuai yang diinginkan, nihil atau bahkan gagal, merasa usaha yang dilakukan akan sia-sia.
Failure belief inilah yang seringkali membatasi diri saya pada hal-hal yang belum pernah saya coba atau bahkan yang belum pernah saya lakukan. Terkadang butuh waktu yang lama, berpikir dan meyakinkan diri untuk memulai melakukan atau mencoba sesuatu.
“Dalam hidup selalu ada yang pertama, kalau kamu tidak mencoba, kamu tidak akan tahu, kalau kamu menyerah pada saat baru memulai mencoba, kamu tidak akan pernah selesai. Berhentilah pada saat kamu selesai.” Nasihat seorang sahabat karib yang sudah seperti kakak saya sendiri, Gerraldo Bertolini (almarhum).
Lari sungguh mengajarkan saya arti dari endurance, yaitu konsisten, persisten, dan pantang menyerah.
“Nana korobi, ya oki” atau dalam terjemahan Bahasa inggris, “Fall dow seven times, stand up eight”, yang artinya tidak menyerah,terus mencoba, tetap fokus kepada tujuan, memiliki visi kedepan dan mewujudkannya hingga visi itu menjadi nyata.
Kalau belum bisa lari, jalan kaki saja dulu, kemudian coba lari pelan-pelan sampai akhirnya berhasil mencapai 1 KM pertama, dan kemudian dilanjutkan dengan kilometer berikutnya. Selama tidak menyerah dan terus mencoba, garis finish tidak hanya ada di angan, tetapi akan dipijak pada saat selesai, finishing well.