WINNING THE SURVIVAL BATTLE
09 March 2023
Selasa malam di bulan Januari, bertepatan dengan wedding anniversary saya dan suami.

Kami berdua merayakan hari jadi pernikahan di salah satu steakhouse di Jakarta yang ternyata menyajikan tomahawk yang luar biasa enak, dan betapa beruntungnya saya karena khusus hari itu ada potongan setengah harga (saya serius rasanya benar-benar enak, meskipun discount-nya membuat saya sedikit bias).

Sambil mengiris daging medium-well tersebut, saya berkata pada suami, “Sepertinya, ini pertama kali aku makan tomahawk.”

Kemudian ingatan saya membawa saya ke masa-masa kuliah, disaat saya hidup “nge-kos” jauh dari rumah.

Kisah ini saya beri judul “worst financial period of my life”. Saat itu saya masih sepenuhnya bergantung secara finansial dengan orangtua. Untuk makan, saya harus sangat menghemat dengan budget sekitar Rp 10,000 sekali makan. Tidak jarang saya membeli sebungkus nasi uduk seharga Rp 5,000 untuk 2 kali makan (pagi dan siang), atau membeli sekotak martabak telur yang bisa dijadikan sebagai lauk untuk 2 hari ke depan. Belum lagi masih harus menyisihkan uang untuk membeli paket internet dan kebutuhan kuliah lain seperti foto copy, print, dsb.

Ketika weekend, ada saat-saat dimana teman mengajak “nongkrong” dan jalan-jalan, namun saya harus berdalih dengan berbagai alasan, padahal sebenarnya karena tidak ada uang. Di benak saya, daripada harus membuang uang hari itu, saya jadikan weekend menjadi saat dimana saya bisa mencari uang tambahan. Salah satu yang saya lakukan adalah menjadi SPG bazaar di salah satu mall di Jakarta. Saya ingat, saat itu harus berdiri non-stop menjaga booth 9 jam sehari selama 3 hari yang berujung pegal-pegal di sekujur kaki dan pinggang. Dan yang paling menyedihkan adalah pada saat jam istirahat, saya harus makan bekal yang saya bawa sendiri di toilet karena tidak punya cukup uang untuk membeli makan di mall tersebut. Tapi ternyata, hidup frugal yang saya jalani itu justru melatih money management skill saya hingga akhirnya bisa turut membantu orangtua membayar sewa kos dan biaya kuliah saya sendiri.

Kisah lainnya datang dari orangtua saya. Mereka adalah inspirasi terbesar saya ketika berbicara mengenai “how to survive”. Sudah 23 tahun sejak ayah saya mengalami stroke di sekujur tubuh kirinya dan nyatanya sampai sekarang beliau masih saya anggap sebagai salah satu orang terpintar yang saya kenal, yang tidak membiarkan keterbatasan fisiknya menghalanginya untuk terus berkarya, dan orang bisa melihat di dirinya masih terpancar optimisme untuk tetap sehat.

Namun dibalik itu semua, ada ibu saya yang menjadi pahlawannya. Ibu saya yang tatkala itu masih berusia 30-an, harus menerima fakta bahwa ia tiba-tiba harus menjadi tulang punggung keluarga, dengan suami dan 4 anak yang harus dinafkahinya (saat itu 2 kakak saya duduk di bangku SMP, saya dan adik saya berusia 4 dan 2 tahun). Saya yakin jalan yang ditempuh ibu saya sungguhlah tidak mudah. Dibutuhkan kesabaran dan welas asih yang luar biasa. Tapi ia berhasil bertahan dan melewatinya, membuktikan bahwa dia bisa “survive her battle”, sampai keempat anaknya bisa menyelesaikan bangku kuliah yang ia sendiri pun tak pernah merasakannya.

Dari pengalaman tersebut, saya menyadari bahwa seni bertahan hidup itu sungguh penting dimiliki setiap orang dan sudah seharusnya menjadi naluri dasar setiap manusia untuk selalu berjuang dan mengatasi setiap tantangan yang ada di hadapannya. Baik kita menghadapi tantangan pribadi, profesional, atau sosial, perjuangan untuk bertahan hidup adalah hal yang nyata.

Saya yakin kita semua punya kisah hidup yang mengajarkan kita untuk bisa survive dalam setiap permasalahan hidup. Seperti pandemi yang bertahun-tahun telah mengganggu kehidupan kita dengan cara yang tidak terbayangkan; ada yang kehilangan pekerjaan bahkan kehilangan orang yang dicintai, yang memaksa kita untuk memikirkan kembali pendekatan kita terhadap bertahan hidup, dan pada akhirnya berita yang mengumumkan bahwa penggunaan masker sudah tidak diwajibkan menjadi tanda bahwa semua itu sudah berlalu dan bisa dibilang kita telah survive melewatinya.

Namun bertahan hidup tidak hanya tentang melewati waktu sulit; ini juga tentang berkembang di tengah-tengah kesulitan. Ini tentang belajar untuk beradaptasi, menemukan solusi kreatif, dan memanfaatkan sebaik mungkin apa yang kita miliki. Ini tentang memenangkan pertempuran bertahan hidup. Dan bisa dibilang, 2 kisah yang saya ceritakan di atas telah memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi saya dan keluarga, bahwa di masa-masa tersulit pun, segelap apapun musim hidup kita, pasti akhirnya kita akan menemukan setitik cahaya di ujung jalan, selama kita terus berjalan.

Dan begitu saja.. suapan terakhir itu masuk ke mulut dan entah mengapa kenangan nostalgia itu membuat rasanya menjadi lebih nikmat.

Written by Karen Miranti
List of Authors
Subscribe
Get up-to-date information by signing up for our newsletter
Contact Us
We are happy to answer any questions you may have
Address
Sahid Sudirman Center
Jalan Jend. Sudirman Kav.86, Lantai 12
Karet Tengsin, RT.10/RW.11
Daerah Khusus Ibukota Jakarta
10220