The Art of Competing
23 February 2023
...“Kalau nyetir di Jakarta harus punya 9 nyawa kalau tidak ya kalah sama kendaraan lain” ujar si pengemudi ojek online setelah melihat saya menahan napas melihat begitu rapatnya jarak antar kendaraan. 

Kata-kata tersebut lucunya saya dengar tidak hanya sekali sejak di hari pertama saya menjejakkan kaki di Jakarta. 

Ketika saya mengamati keadaan di luar mobil, saya menemukan fakta lain dari jalanan di Jakarta selain kemacetannya yang di luar nalar, yaitu kompetisi dalam menaklukkan jalanan untuk mencapai tempat yang dituju.

Jika kita sadari, bukankah kompetisi demikian selalu hadir di setiap kehidupan kita. Tidak hanya di jalanan tapi di lingkungan sekolah, lingkungan kerja bahkan yang paling menyebalkan adalah kompetisi di keluarga. 

Kompetisi di keluarga akan muncul dengan pertanyaan “Kapan akan menyusul?” atau “Si A hebat lo bisa seperti ini masa kamu kalah”. Pertanyaan yang familiar yang katanya sering dilontarkan ibu-ibu tetangga yang berkumpul di sekitar rumah (dibaca julid) .

Saya sejenak memikirkan apakah saya juga memiliki sifat yang menganggap segala sesuatunya sebagai perlombaan.

Sejujurnya, jiwa kompetisi sangat melekat dalam diri saya. 

Jiwa kompetisi tersebut lahir sejak masa SMP ketika saya diberi kesempatan mengikuti beberapa perlombaan. Entah saya yang terlalu hoki atau Tuhan yang terlalu kasihan melihat saya kalah di usia yang masih muda sehingga membiarkan saya memenangkan seluruh lomba yang saya ikuti. Kemenangan-kemenangan yang saya raih kala itu naasnya tanpa sadar membentuk mindset kompetisi yang tidak sehat dalam diri saya. 

Mindset saya kala itu adalah menang adalah mutlak,  Kalah adalah pecundang. 

Beruntungnya, Tuhan masih berbaik hati untuk mensetting ulang mindset saya melalui kekalahan pertama saya di bangku SMA. 

Saat itu saya kembali mendapat kesempatan mewakilkan sekolah saya di salah satu perlombaan yang cukup bergengsi di tingkat SMA. Ajang tersebut rupanya menjadi hajaran pertama dalam perjalanan kompetisi saya. 

Tidak cukup dengan kekalahan, hajaran lainnya adalah fakta bahwa hanya tim saya yang gagal lolos dari semua tim yang sekolah kirim. 

Kekalahan tersebut menjadi titik balik yang menyadarkan saya bahwa kompetisi tidak hanya tentang menang atau kalah namun bagaimana saya belajar selama proses persiapan tersebut.

Meskipun tidak berhasil meraih kemenangan, saya berhasil menciptakan banyak memori  seru selama proses persiapan olimpiade. Kekalahan tersebut juga mempertemukan saya dengan rekan-rekan yang saat ini menjadi salah satu teman baik saya. 

Ketika saya menulis cerita ini, saya jadi teringat salah satu cabang olahraga yang sempat saya minati karena filosofinya yang unik, yaitu Judo. Uniknya dalam Judo, salah satu pelajaran pertama yang harus dikuasai adalah bukan bagaimana cara membanting lawan, tetapi belajar bagaimana cara dibanting dan bangkit. 

Meski pada akhirnya saya tidak jadi menekuni Judo karena saya merasa tidak cocok dengan seni bela diri (dibaca takut untuk dibanting terus menerus).

Filosofi tersebut menyadarkan saya pentingnya kekalahan yang sering dianggap memalukan.

...Kekalahan membuat kita menyadari bagian mana dalam diri kita yang perlu dikembangkan dan menjaga kita tetap rendah hati atas semua pencapaian kita. Kepahitan dari sebuah kekalahan juga membuat kita lebih menghargai dan merasakan manisnya sebuah kemenangan.

Mungkin pertanyaan yang timbul saat membaca tulisan ini adalah, apakah memiliki jiwa kompetisi itu salah? jawabannya tentu saja tidak. 

Jika saya tidak memiliki jiwa kompetisi saat itu mungkin saja saat ini saya tidak punya cerita memalukan (dibaca inspiratif) untuk dijadikan topik tulisan. Jika saya tidak memiliki jiwa kompetisi sangat mungkin saya hanya menjadi anak sekolah dengan pengalaman yang biasa saja.  

Namun yang sering kita lupakan dalam berkompetisi adalah mengenali kemampuan diri sendiri dan letak kelas kompetisi kita. 

Jika mengingat perkataan bapak pengemudi ojek online tadi, kita harus punya 9 nyawa artinya kita harus berani mengambil risiko untuk mencapai tujuan. Yang sejujurnya saya tidak yakin sih bapak tersebut juga berpikiran demikian. Berani mengambil risiko tidak berarti semua kompetisi dapat kita ikuti. 

Kita harus pandai memilih mana yang menjadi kelas kompetisi kita. 

Sama seperti cabang olahraga taekwondo yang memiliki tingkatan-tingkatan sesuai dengan kemampuan pemainnya. Kita harus menyadari bahwa setiap kita mungkin tidak berada di kelas kompetisi yang sama. Memaksa mengikuti kompetisi yang tidak sesuai dengan kompetensi kita hanya akan merugikan diri sendiri. 

Namun jangan salah tangkap pernyataan tersebut. 

Ini bukanlah ajakan untuk jangan berkompetisi atau lebih parahnya lagi menjadi pembenaran sikap bermalas-malasan dalam berkompetisi (seperti yang kadang saya lakukan). Melainkan sebuah pengingat untuk mengikuti kompetisi sesuai dengan kemampuan sembari mengembangkan diri agar dapat naik ke tingkatan kompetisi selanjutnya.

Ibaratnya jika kita ini adalah sebuah mobil, sangat tidak bijak dan konyol bukan untuk bersaing melawan sebuah truk atau bis hanya untuk membuktikan kehebatan diri.  Bukannya mencapai tujuan yang ada kita akan mencapai rumah Tuhan lebih cepat. 

Ingat, kita hanyalah manusia dengan satu nyawa, bukan kucing yang konon katanya memiliki 9 nyawa seperti kata pengemudi ojek online tadi.

Written by Jessica Angeline
List of Authors
Subscribe
Get up-to-date information by signing up for our newsletter
Contact Us
We are happy to answer any questions you may have
Address
Sahid Sudirman Center
Jalan Jend. Sudirman Kav.86, Lantai 12
Karet Tengsin, RT.10/RW.11
Daerah Khusus Ibukota Jakarta
10220