Children of Crisis
22 December 2022
Tulisan ini saya buat saat saya sedang duduk menunggu pesawat keberangkatan saya di Bandara Internasional Soekarno Hatta. Bandar Soetta terminal 3 yang begitu megah ini merupakan saksi betapa pesatnya geliat pembangunan infrastruktur Indonesia selama kurang lebih 10 tahun terakhir. Jalan toll lintas provinsi di Sumatra dan Jawa, kereta cepat Jakarta-Bandung, LRT Cibubur-Bekasi-Jakarta, MRT lebak bulus-bundaran HI sampai ke Ancol, merupakan segelintir dari pembangunan infrastruktur yang dibangun pemerintah untuk mengejar ketertinggalan infrastrutktur dasar dengan negara-negara tetangga. 

Pembangunan infrastruktur yang pesat selama 10 tahun terakhir serta booming harga komoditas ekspor Indonesia dua tahun terakhir membuat saya begitu yakin bangsa Indonesia dapat tahan mengarungi gejolak krisis ekonomi yang mungkin akan terjadi di tahun 2023 yang diprediksi akan banyak menghantam ekonomi negara maju.

Kebetulan hari itu saya akan berpergian ke Thailand. Negara yang selalu saya ingat di memori masa kecil saya sebagai episentrum awal krisis keuangan tahun 1997 yang memporakporandakan ekonomi negara-negara Asia Timur termasuk Indonesia.  

Krisis keuangan tahun 1997 begitu membekas diingatan saya. Penurunan standar hidup yang sangat drastis yang terjadi di wilayah saya tinggal saat itu akibat begitu banyak PHK yang terjadi serta naik tajamnya harga-harga kebutuhan dasar mendorong saya untuk selalu bertanya-tanya kenapa hal tersebut bisa terjadi.

Pertanyaan-pertanyaan masa kecil saya saat itu adalah kenapa nilai tukar suatu negara bisa melemah begitu drastis hanya dalam hitungan bulan? Kenapa pelemahan nilai tukar tersebut dapat membuat gaji dan standar hidup masyarakat suatu negara bisa hancur begitu cepat? Bukankankah mata uang haruslah stabil karena di sanalah setiap orang menggantungkan kehidupanya? Menyimpan tabungannya untuk masa depannya.

Tanpa sadar memori masa kecil serta pertanyaan-pertanyaan masa kecil tadi begitu membekas bagi saya sehingga saya begitu senang ketika membaca atau belajar tentang topik-topik seputar ekonomi. Memori itu yang membimbing saya akhirnya masuk ke Fakultas Ekonomi UI. Pertanyaan-pertanyaan saya seputar krisis 98 akhirnya sedikit demi sedikit mulai terjawab di bangku kuliah. Kebetulan di Fakultas tersebut saya banyak mendapatkan banyak kuliah dari para bengawan ekonomi Indonesia yang terjun langsung sebagai policy maker. (Sekelompok teknokrat era Pak Harto yang sering disebut Berkley mafia).  

Menariknya di saat saya sedang mempersiapkan tugas akhir kala itu krisis keuangan global 2008 pecah. Ruang-ruang kampus kala itu menjadi tempat debat terbuka antara mahasiswa yang pro dengan kebijakan bail-out bank century oleh pemerintah maupun yang kontra. Saya dan beberapa sahabat saya yang ikut dalam himpunan mahasiswa yang khusus mengkaji tentang isu-isu pembangunan ekonomi setiap saat mengkaji masalah ini. Kami terkadang sering mengejek diri kami sendiri sebagai Children of Crisis karena sejak kecil dibesarkan oleh situasi krisis ekonomi.  

Belajar dari dua krisis keuangan tersebut yaitu krisis tahun 1998 dan 2008, ternyata akar masalah dari krisis keuangan memiliki benang merah yang sama: Mismanagement Utang.  Krisis keuangan Asia tahun 98 hanyalah pemantik dari rapuhnya kinerja eksternal Indonesia kala itu. Cikal-bakal rapuhnya ekonomi Indonesia sebenarnya dimulai dari kebijakan Pakto 88 di mana pemerintah saat itu (1988) mengikuti saran dari IMF untuk melakukan deregulasi di industri perbankan tanah air untuk menciptakan persaingan usaha yang lebih tinggi di industri perbankan dengan mempermudah perizinan membuka Bank bagi pihak swasta. Dampaknya, banyak bank-bank menjamur di Indonesia dengan modal yang minim. Di tengah persaingan di industri perbankan yang ketat banyak perbankan tanah air yang akhirnya meminjam utang dollar jangka pendek dengan bunga murah dari luar negeri untuk mendanai proyek-proyek di dalam negari dalam rupiah. Akibatnya terjadi mismanagement utang dan currency. Bank Dunia mencatat sebelum krisis keuangan 98, Indonesia menderita Current Account Deficit (CAD) sebesar -2.3% dari PDB di tahun 1997.

CAD ini begitu krusial karena melihat seberapa kuat suatu negara mampu menjaga nilai tukarnya ketika terjadi capital outflow tiba-tiba. Di tengah serangan spekulan mata uang terhadap Thai Bath yang mendorong bath terdepresiasi sebesar 50% di tahun 97, rapuhnya kinerja eksternal Indonesia akhirnya mulai terlihat dan menjalar menjadi masalah lebih besar yang akhirnya menghancurkan stabilitas makroekonomi Indonesia yang dibangun selama 32 tahun. Kombinasi antara utang luar negeri jangka pendek dan CAD yang tinggi membuat nilai tukar rupiah begitu rapuh dari serangan spekulan mata uang dan capital outflow kala itu. Rupiah akhirnya terdepresiasi hingga 594% terhadap dollar pada Juni 1998.

Krisis keuangan global 2008 juga memiliki akar masalah yang sama. Tingginya utang sektor swasta terutama untuk spekulasi di sektor property dengan sangat mudahnya memberikan utang kepada masyarakat yang tidak layak secara kualitas pendapatan, menciptakan mismanagement utang di AS. Di tambah dengan buruknya regulasi pasar modal di AS dengan memberikan peringkat surat utang yang sangat baik atau AAA kepada obligasi korporasi yang sebenarnya berkualitas buruk menciptakan moral hazard yang begitu tinggi.

Berkaca dari kedua krisis di atas, saya kini lebih optimis menatap Indonesia di tahun 2023. Dari pengalaman mempelajari tiga krisis besar, krisis 98, 2008 dan 2020, saya melihat ekonomi Indonesia melakukan transformasi yang baik untuk terus berbenah menjadi ekonomi yang lebih tangguh terhadap gejolak. Krisis 98 menjadi pelajaran yang begitu berharga yang membuat ekonomi Indonesia menjadi lebih kuat seperti sekarang. Krisis 98 membuat pemerintah begitu ketat meregulasi industri perbankan, menjaga permodalan perbankan tetap tinggi (24%) atau di atas aturan standard Internasional Basel III sebesar 8%.  Kualitas aset perbankanpun dijaga tetap sehat dengan NPL di bawah 5%. Dampaknya bisa kita lihat ketika pandemic Covid-19, hancurnya sektor riil akibat Covid-19 ternyata tidak membuat perbankan Indonesia goyah seperti 98.

Utang luar negeri yang menjadi salah satu sumber masalah di tahun 98 pun dijaga di level yang sangat sehat yaitu sebesar 30% dari PDB atau di bawah standar minimum negara-negara OECD sebesar 60% dari PDB. Selain itu struktur utang luar negeri Indonesia juga didominasi utang jangka Panjang sebesar 87.4%. Yang membuat saya tambah optimis adalah Indonesia akan mengarungi tahun 2023 dengan modal Current Account surplus sebesar 1% dari PDB di tahun 2022. Sudah 2 tahun berturut-turut Indonesia mencatatkan current account surplus. Yang artinya sektor eksternal Indonesia akan lebih mampu dan kuat menghadapi capital outflow tiba-tiba.

Melihat hal-hal tersebut di atas, saya semakin yakin dengan makna kata  'Weiji', sebuah kata dalam bahasa mandarin yang artinya 'Krisis'. Kata ini terdiri dari 'Wei' yang artinya bahaya, dan 'Ji' yang berarti peluang. Begitu dalam makna dari kata ini yang artinya di setiap kesulitan pasti ada peluang. Indonesia telah mengubah krisis 98 menjadi pelajaran berharga sehingga mengubah ekonomi bangsa kita menjadi lebih Tangguh. Seandainya resesi benar-benar terjadi tahun depan, kita tau ekonomi Indonesia akan tetap kuat dan ada peluang besar di sana!    

Written by Ahmad Mikail
List of Authors
Subscribe
Get up-to-date information by signing up for our newsletter
Contact Us
We are happy to answer any questions you may have
Address
Sahid Sudirman Center
Jalan Jend. Sudirman Kav.86, Lantai 12
Karet Tengsin, RT.10/RW.11
Daerah Khusus Ibukota Jakarta
10220