Malam itu, pilihan kuliner jatuh pada sebuah tempat makan legendaris yang menempati salah satu rumah Belanda tercantik di Malang. Saya merapatkan jaket dan memasukkan kedua tangan ke kantong. Malam belum lama beranjak dari senja, lampu-lampu kota mulai menyala indah.
Seorang pramusaji bersenyum lapang datang menyapa.”Selamat malam, apakah Kakak sudah siap memesan?” Tanyanya dengan nada yang sama tenang dengan malam itu. Begitu tenang hingga saya merasa jadi satu-satunya tamu tempat makan populer itu.
“Ada buah tomatkah?” Tanya saya padanya. Buah tomat sedang jadi favorit saya sejak mulai belajar memasak pasta.
“Ada. Buah tomat lokal ada, Kak” Jawabnya.
Saya lanjutkan memesan salad buah dan memastikan buah tomat favorit saya, akan jadi bagiannya.
“Maaf Kak, kalau untuk salad buah sebenarnya tidak memakai tomat. Tomat, walaupun secara teknis termasuk kaum buah-buahan, kalau dalam urusan dunia per-salad-an masuk kategori sayuran.”
Mata sipit saya pun semakin menyipit mendengar penjelasan itu. Ingin rasanya berdebat lebih lanjut namun saya urungkan niat berdebat ini.
Mengubah pendirian pramusaji sepertinya akan sama saja dengan mengupayakan matahari terbit dari arah Barat. “Baiklah, tolong buatkan salad buahnya”
Tidak tampak senyum atau ekspresi kemenangan di wajah sang pramusaji. Baginya ini semata soal bagaimana sewajarnya salad buah disajikan, sama sekali bukan soal menang atau kalah.
Kota Malang adalah kota kecil yang nyaman, tak sepadan untuk menjadikan urusan salad sebagai perkara besar.
Malam itu saya kembali merenungkan bagaimana, “Mengetahui bahwa tomat itu terhitung sebagai buah adalah sebuah pengetahuan (knowledge). Sedangkan mengetahui bahwa tomat bukanlah bagian dari salad buah adalah sebuah bentuk kebijaksanaan (wisdom).”
Setelah menyadari bahwa saya bisa memahami keduanya sama benar sesuai konteksnya, malam mendadak menjadi manis, bahkan romantis. Saya pun tersenyum sendiri.
Saya jadi teringat membaca soal pengetahuan dan kebijaksanaan ala tomat ini di buku From Strength to Strength karya Arthur Brooks (terima kasih buat sahabat saya Ellen May atas hadiah buku yang menawan hati ini).
Buku ini bukan soal tomat, juga bukan soal salad. Ini buku yang menantang cara berpikir kita untuk bisa menciptakan peluang bertumbuh, untuk memiliki dan setia pada tujuan hidup (purpose) dan meraih sukses di usia yang lebih matang dalam hidup.
Buku ini ditulis untuk mereka yang telah berjuang begitu keras dan berhasil meraih sukses demi sukses dalam hidup. Mereka yang masuk kategori striver. Penulisan buku ini memerlukan riset mendalam dan wawancara dengan orang-orang sukses dalam berbagai bidang.
Hasilnya adalah apa yang namanya striver’s curse: ketika mereka yang telah berjuang begitu keras meraih pencapaian yang sangat tinggi dalam hidup seringkali berakhir dengan penurunan yang tidak terhindarkan. Makin tinggi naiknya, makin curam pula turunnya. Tentunya ini menjadi momok yang sangat menakutkan buat para striver, para pejuang. Sukses yang diraih makin hari makin terasa kurang memuaskan (the law of diminishing returns?). Ditambah hubungan dengan orang-orang tercinta juga memudar, tidak seperti arsitektur kolonial cantik di Malang yang seolah tak lekang oleh waktu.
Kaum striver kebanyakan meraih sukses dengan kerja keras, pengorbanan besar, dan standar yang sangat tinggi. Ini layak dikagumi. Sayangnya, banyak striver yang hanya paham satu strategi, dan terus berusaha mengaplikasikan hal yang sama. Mereka tidak mengakui adanya perubahan dalam fase hidup dan mencoba kompensasi penurunan ini dengan bekerja bahkan lebih keras.
Padahal penurunan performance seiring dengan bertambahnya usia adalah hal yang sangat jelas dan terbukti secara ilmiah. Puncak kreativitas terjadi kira-kira 20 tahun setelah karier dimulai, dengan variasi yang tergantung pada karier pilihan. Masa penurunan umumnya terjadi di rentang usia antara 35 dan 50.
Sulit menerima? Itu yang saya rasakan sewaktu membaca riset ini. Karena manusia adalah ahli penyangkalan. Kalau dipikir lagi, sebenarnya kita bisa meraih sukses justru karena berani menolak menerima bahwa peluang sukses, secara statistik, sebenarnya tidak besar. Jadi, penyangkalan itu adalah hal yang positif di awal karier. Modal besar buat bisa maju.
Mengapa penurunan itu terjadi? Penjelasan ilmiahnya berkaitan dengan perubahan struktural otak, di bagian yang namanya prefrontal cortex (bagian otak di belakang dahi). Bagian otak ini cenderung paling terakhir berkembang di masa kanak-kanak dan paling cepat menurun di masa dewasa.
Prefrontal cortex ini memungkinkan kita untuk menjadi lebih baik dengan berlatih 10.000 jam. Sebaliknya penurunan prefrontal cortex mengakibatkan penurunan kemampuan berinovasi dan daya analisa. Juga membuat kita mudah terdistraksi dan kehilangan fokus dengan bertambahnya usia.
Problemnya apa? Karena mencoba bertahan, striver akan mudah terjebak pada perilaku kecanduan kerja. Kecanduan kerja ini, seperti jenis kecanduan yang lain, menempatkan kita pada hubungan tidak sehat dengan orang-orang tercinta. Akibatnya, di saat titik paling nadir, orang-orang tercinta gagal hadir untuk menolong…
Kurva kedua dalam karier: belajar dari Bach
Jujur saya berteriak senang saat mengetahui bahwa ternyata buat para striver, hidup tidak selalu harus berakhir dengan kisah sedih. Kehilangan relevansi dan menjadi seorang yesterday.
Contohnya adalah kisah komposer legendaris Johann Sebastian (J.S.) Bach. Pencapaian seorang J.S.Bach tidak perlu dipertanyakan lagi. Dengan hasil karya yang lebih dari seribu buah, ia adalah jenius yang melahirkan banyak kantata terbaik. Komposisinya sempurna. Karya piano Bach sederhana dan elegan.
Kesuksesan Bach tidak hanya terbatas pada karier musik, tapi juga terefleksikan pada kehidupan keluarga. Empat anak Bach mampu mencapai karier musik yang cemerlang. Yang paling terkenal adalah Carl Philipp Emanuel, atau yang sering dikenal dengan akronim CPE.
Karier musik hebat Bach ternyata juga tidak abadi. Yang menggeser popularitas Bach tidak lain adalah putranya sendiri, CPE. Tentunya saat ini terjadi, amat mudah bagi Bach untuk mengalami kepahitan dan merasa ditinggalkan, dan bermuara pada depresi (orang sehebat Charles Darwin pun mengalami kepahitan ini).
Tapi yang terjadi justru adalah penemuan kurva kedua dalam hidup Bach. Ia bangga dengan pencapaian putranya dan menerima seutuhnya bahwa musim telah berganti.
Bach mendesain ulang hidupnya, dari seorang inovator musik menjadi seorang master teacher. Ia menemukan dan memeluk sepenuhnya kurva kedua dalam kariernya.
The Art of Fugue ditulis oleh J.S Bach sebagai sebuah textbook. Seratus tahun setelah Bach meninggal, “textbook” ini ditemukan kembali dan disajikan ke publik. Sebuah textbook yang saking indahnya dianggap sebagai karya sastra, bahkan puisi.
Setelah mengalami fase natural penurunan karena usia, Bach berhasil keluar dari jebakan klasik frustasi dan depresi. Ia tetap menjadi seorang ayah yang berbahagia dan menemukan jati diri kembali sebagai seorang guru. Hidupnya diwarnai dengan kebahagiaan, cinta, dan pelayanan bagi sesama.
Bach tahu persis bahwa tomat tidak seharusnya menjadi bagian dari salad buah. Dan wisdom yang sama, dengan warna cinta dan semangat berbagi, juga saya temui di kampung halaman di Surabaya, dalam sosok pengusaha Hermanto Tanoko.
Belajar dari kurva kedua Pak Hermanto Tanoko
Menghadiri peluncuran buku Pak Hermanto Tanoko di awal Desember sungguh merupakan peristiwa yang membuat saya tertegun. Setiap detik dan setiap ucapan sharing beliau terekam baik dalam sanubari. Energi positif yang tiada berhenti mengalir dan kerendahan hati plus ketulusan Pak Hermanto sekeluarga juga menjadi bagian pembelajaran yang tidak kalah penting. Kenapa? Karena ini menjadi bagian esensial dari kurva kedua beliau.
Banyak orang mengenal sosok Hermanto Tanoko sebagai sosok yang turut membangun dan membesarkan beberapa perusahaan ternama di negara tercinta kita. Investor pasti familiar dengan AVIA (PT Avia Avian Tbk), atau CLEO (PT Sariguna Primatirta Tbk). Pengusaha yang inovatif dan rendah hati adalah bagaimana orang-orang mengenalnya.
Ada rasa syukur besar dalam diri saya untuk bisa menghadiri acara istimewa dan langka ini. Tidak banyak pengusaha atau orang sukses Indonesia yang bersedia memeluk seutuhnya kurva kedua dalam karier, yang berpusat pada menjadi seorang master teacher dan bersedia tulus berbagi pengetahuan dan kebijaksanaan. Juga bukan terus berfokus pada treadmill hedonis yang berfokus hanya pada membangun kekayaan dan berupaya sangat keras untuk tidak menjadi yesterday, tahun demi tahun. Hari demi hari.
Saya juga merasa beruntung bisa menjadi saksi hubungan harmonis penuh canda dan tawa lepas di antara anggota keluarga Pak Hermanto. Rasanya ingin saya genggam erat semua memori acara malam hari itu. Juga, ingin rasanya saya belajar lebih jauh, tentang kebijaksanaan sejati yang hanya bisa didapatkan dari banyak tahun belajar di “school of hard knocks” ala Pak Hermanto.
“Belajarlah dari jam dinding. Dilihat orang ataupun tidak, ia tetap bendenting; dihargai orang atau tidak, ia tetap berputar.”
-Hermanto Tanoko-
Buku karya Pak Hermanto ini ditulis dari hati, bahasanya mengalir apa adanya tapi tetap sangat dalam. Ilustrasinya begitu memikat hati, dan dibagi dalam tiga trilogi cerdas: The Boy, The Man, dan The Entrepreneur. Saya menyelesaikan membaca buku ini dalam satu akhir pekan. Karena buat saya memang tidak mungkin meletakkan buku ini dan berhenti membaca di tengah-tengah.
Dari buku trilogi Richer Mindset ini, saya baru paham bagaimana ayah (chapter My Father, My Superhero part 1-3) dan kakak-kakak beliau (misalnya Pak Wijono Tanoko, chapter Brotherhood) memegang peran esensial dalam perjalan karier dan pembentukan karakter Pak Hermanto Tanoko.
Sang ayahanda mampu dan mau bertransisi, lalu berperan sebagai seorang master teacher yang membawa pengaruh mendalam bagi pembentukan jiwa kewirausahaan Pak Hermanto.
Sikap dan semangat master teacher yang sama ini dilakoni dengan sungguh-sungguh oleh seorang Pak Hermanto Tanoko saat ini. Bedanya adalah kali ini kita semua punya kesempatan untuk menjadi murid beliau. Tidak hanya untuk mendapatkan knowledge bahwa tomat termasuk keluarga buah-buahan, tapi juga untuk mendapatkan wisdom bahwa tomat tidak mendapatkan tempat dalam menu salad buah.
Hari itu saya belajar untuk bukan hanya menjadi striver yang bisa meraih sukses karier, tapi juga menjadi striver yang mau merangkul kurva kedua dalam karier dan hidupnya. Untuk memiliki kesempatan buat merubah haluan dari yang tadinya berjuang menolak fase penurunan alamiah dalam hidup, dan menuju ke mata air kebahagiaan merupakan anugerah luar biasa.
“There are two pillars of happiness…One is love. The other is finding a way of coping with life that does not push love away.”
-George Vaillant-