Jujur, bagi saya, ini adalah pertanyaan yang caught me off guard, karena:
Pertanyaan ini dilontarkan oleh teman saya di satu malam saat kita sedang gym bareng, tempat terakhir di benak saya to have a deep conversation and thought about life.
Sang penanya, mempunyai background yang jauh lebih next level daripada saya. Bayangkan saja, teman saya yang masih seumuran ini adalah seorang eksmud, CEO di salah satu anak usaha keluarga konglomerat terbesar di Indonesia, engineer lulusan benua seberang, serta segudang prestasi lainnya.
Normal saja sih jika dia melontarkan pertanyaan itu, kebetulan saya memang kenal dekat dan sering sharing dengan manusia satu ini, sudah satu dekade lebih kita berteman, sejak masa dimana fokus hidup saat itu hanya 2, yaitu bagaimana bisa lulus kuliah dengan baik dan habis kelas mau makan dimana.
Setelah berpikir keras di sela-sela 1 set leg press, saya jawab dengan mantap bahwa momen kegagalan adalah momen terpenting bagi saya.
Karena kenyataannya dalam hidup saya rasanya belum banyak momen kesuksesan atau achievement yang bisa saya ceritakan ke orang lain. Kalaupun ada, mungkin hanya sebatas dipuji istri karena aglio olio buatan saya enak, itupun entah jujur atau tidak.
Yang banyak justru adalah cerita kegagalan atau kesalahan yang pernah saya alami.
Dalam perjalanan mengejar kebebasan finansial, saya pernah terlena akan sebuah produk investasi dari sebuah sekuritas yang awalnya terkesan baik-baik saja, tapi akhirannya bodong. Setengah dari life savings saya dari masa kerja keras di Shenzhen, Sillicon Valley-nya China, lenyap begitu saja.
Dalam perjalanan mengejar property pertama saya, saya juga terlena janji sebuah property developer akan sebuah mega project di timur Jakarta. Hingga hari ini, proyek tersebut masih jauh dari kata selesai. The other half of my life savings? Nyantol disini.
Saya juga pernah kehilangan sumber income utama saya saat sedang kuliah, yaitu kiriman uang dari orang tua. Gejolak di bisnis orang tua saya saat itu cukup berat, hingga mencapai titik dimana katanya mereka tidak mampu mengirimkan uang makan untuk anaknya yang sedang hidup di negara orang. Hasilnya? Saya harus bekerja part-time seusai kelas agar punya uang untuk bertahan hidup.
Bahkan yang baru-baru ini saja terjadi, saya ngobrol dengan salah seorang fund manager, saat ditanya pandangan saya terhadap upcoming quarterly result salah satu emiten yang ada dalam coverage saya, dengan penuh keyakinan saya jawab: “Pasti bagus boss! Karena x y z….”. Saat results emiten tersebut keluar? One of the worst results ever. Malunya minta ampun.
Jika semua kegagalan saya diceritakan, rasanya blog ini pages-nya bisa double digit.
Kembali ke pertanyaan si eksmud.
Sebelum jawaban saya dibilang gaje, saya buru-buru menambahkan bahwa momen kegagalan banyak memberikan saya kesempatan untuk merenung dan belajar sesuatu yang baru.
Jika boleh meminjam prinsip dari Ray Dalio, founder dari Bridgewater Associates, one of the world’s largest hedge fund, saya percaya bahwa Pain + Reflection = Progress.
Jika ada sesuatu yang pasti di tengah dunia yang penuh ketidakpastian ini, adalah setiap orang, di suatu waktu, pasti akan mengalami masalah/kegagalan yang mendatangkan pain, apapun bentuknya, bisa kekecewaan, amarah, malu, dkk. Bahkan bisa jadi, pain yang akan datang di kemudian hari bisa jadi lebih besar dari yang kita pernah alami sebelumnya.
Tidak ada cara untuk menghindari hal ini. Apalagi jika kita memiliki life goals yang cukup ambisius, mencapai financial freedom di masa muda, misalnya?
Tapi yang menarik, mungkin bertemu dengan sesuatu yang painful bisa jadi adalah salah satu sinyal bahwa kita mungkin sedang berada dalam important juncture in life?
Berkaca dari 5-step process diatas, bukankah kesempatan untuk going next level juga di mulai dari problems? Ibarat pergerakan harga saham, mungkin memang perlu koreksi sehat dulu sebelum lanjut to the moon.
Diberi kesempatan untuk merenungkan kembali akar dari pain tersebut dan mampu devise a plan of action, and come back stronger, setidaknya bagi saya, adalah sebuah keindahan tesendiri.
Pengalaman dengan first property dream membuat saya terpacu untuk belajar ilmu dan menyelesaikan sertifikasi profesional seputar personal finance, agar mampu menyusun portofolio investasi pribadi dengan lebih bijaksana.
Tertipu produk investasi bodong dari market? Seperti jadi mak comblang yang mengenalkan saya ke market dan membuat saya jatuh cinta hingga memutuskan berkarir di industri ini.
Dan sebelum saya di komplain karena memang terkadang pain yang terjadi itu di luar kendali kita, perlu di ingat bahwa Ray Dalio juga berkata “We are more likely to succeed and find happiness if we take responsibility for our own decisions instead of complaining about things being out of our control.” Atau istilah psikologisnya, mempunyai “internal locus of control”.
Harus menyambi sebagai tukang cuci piring ilegal sambil menyelesaikan kuliah, mungkin agak lucu saat diceritakan, tapi berurai air mata saat dijalankan. Tapi pengalaman ini mengasah grit dan benar-benar mengajarkan saya untuk always be grateful in life, whatever it throws to my face.
Daripada hanya fokus merasakan pain saat masalah datang, saya memilih untuk melihatnya sebagai kesempatan untuk terus belajar dan bertumbuh, memandang hidup dengan perspektif yang berbeda, dan hopefully, going to the next level sambil tetap berbahagia.
“For though the righteous fall seven times, they rise again, but the wicked stumble when calamity strikes.”