Delapan Tahun Yang Lalu…
29 June 2022
Delapan tahun lalu… akhirnya hari terakhir saya mampir ke kantor CLSA Jakarta tiba. Tentunya emosional, karena CLSA adalah tempat saya berkarya selama satu dekade.
Jujur ada perasaan takut meninggalkan semua kenikmatan fasilitas dan prestise perusahaan besar. Terlebih lagi masuk ke wilayah atau kuadran baru yang namanya kelihatan keren tapi sejatinya terasa menakutkan di saat masanya tiba: entrepreneurship.
Ada teman yang berusaha membesarkan hati, dengan bilang kalau kita passionate di bidang kerja kita, semua akan indah pada akhirnya. Kalau belum indah? Berarti itu belum titik akhir. Entah kenapa saya gagal tenang dengan nasihat ini. Malahan sebaliknya, banyak ketakutan mulai bermunculan.
Salah satu yang paling saya takutkan adalah….. bukannya entrepreneurship, tapi yang saya masuki adalah: kick-ass job with massive liabilities. Hal ini sangat mungkin terjadi kalau saya gagal membangun organisasi. Tapi dipikir lagi, selama 10 tahun saya sudah belajar membangun sistem dan organisasi. Jadi kenapa mesti takut?
Masih ada lagi: bagaimana kalau lifestyle saya harus mengalami downgrade? Seolah-olah lifestyle saya sudah begitu eloknya. Setelah lihat sabuk, jam, mobil, dan sepatu yang dipakai, baru tersadar bahwa lifestyle saya ternyata ya biasa-biasa saja.
Ada sejuta ketakutan lainnya. Misalnya, bagaimana kalau tiba-tiba saya tidak lagi dapat undangan VIP di kawinan? Bagaimana kalau tidak ada lagi yang peduli dengan apa yang saya tulis atau ucapkan? Seakan-akan tadinya saya itu orang penting. Baru setelah sadar saya bukan orang penting, ada rasa lega.
Kita toh tidak mungkin kehilangan sesuatu yang tidak kita miliki.
Yang juga membuat saya bahagia dan bersemangat, kedua putri saya ikut membantu mengemas file-file saya yang telah menumpuk selama satu dekade.
Mereka bilang ke saya di hari yang sangat emosional itu: “Pa, remember when you told us to know when we have ENOUGH?”
Jadi teringat apa yang Warren Buffett bilang: “There is no reason to risk what you have and need for what you don’t have and don’t need”
Jujur ada perasaan takut meninggalkan semua kenikmatan fasilitas dan prestise perusahaan besar. Terlebih lagi masuk ke wilayah atau kuadran baru yang namanya kelihatan keren tapi sejatinya terasa menakutkan di saat masanya tiba: entrepreneurship.
Ada teman yang berusaha membesarkan hati, dengan bilang kalau kita passionate di bidang kerja kita, semua akan indah pada akhirnya. Kalau belum indah? Berarti itu belum titik akhir. Entah kenapa saya gagal tenang dengan nasihat ini. Malahan sebaliknya, banyak ketakutan mulai bermunculan.
Salah satu yang paling saya takutkan adalah….. bukannya entrepreneurship, tapi yang saya masuki adalah: kick-ass job with massive liabilities. Hal ini sangat mungkin terjadi kalau saya gagal membangun organisasi. Tapi dipikir lagi, selama 10 tahun saya sudah belajar membangun sistem dan organisasi. Jadi kenapa mesti takut?
Masih ada lagi: bagaimana kalau lifestyle saya harus mengalami downgrade? Seolah-olah lifestyle saya sudah begitu eloknya. Setelah lihat sabuk, jam, mobil, dan sepatu yang dipakai, baru tersadar bahwa lifestyle saya ternyata ya biasa-biasa saja.
Ada sejuta ketakutan lainnya. Misalnya, bagaimana kalau tiba-tiba saya tidak lagi dapat undangan VIP di kawinan? Bagaimana kalau tidak ada lagi yang peduli dengan apa yang saya tulis atau ucapkan? Seakan-akan tadinya saya itu orang penting. Baru setelah sadar saya bukan orang penting, ada rasa lega.
Kita toh tidak mungkin kehilangan sesuatu yang tidak kita miliki.
Yang juga membuat saya bahagia dan bersemangat, kedua putri saya ikut membantu mengemas file-file saya yang telah menumpuk selama satu dekade.
Mereka bilang ke saya di hari yang sangat emosional itu: “Pa, remember when you told us to know when we have ENOUGH?”
Jadi teringat apa yang Warren Buffett bilang: “There is no reason to risk what you have and need for what you don’t have and don’t need”
Written by Wuddy Warsono, CFA
