Sebetulnya itu hal yang benar-benar manusiawi. Bahkan mungkin hampir semua orang pernah merasakannya, tak terkecuali diri saya sendiri yang beberapa waktu lalu sempat merasakannya. Seperti sedang janjian, beberapa teman seumuran saya waktu itu serempak mem-posting kesuksesannya masing-masing di media sosial. Ada yang berhasil diterima S2 di Harvard, ada yang baru rilis single album perdananya, ada yang sedang launching start-up nya sendiri, bahkan ada yang sukses jadi selebgram dan di endorse brand sana-sini.
Mungkin karena dari taman kanak-kanak sampai kuliah semua orang punya pace yang sama, lalu setelah lulus dan selang beberapa tahun kerja, tiba-tiba sekarang jalur hidup teman-teman yang seumuran jadi beragam. Saya yang tadinya happy happy aja jadi berpikir, “Kok saya gini-gini aja ya, apa lagi yang harus saya lakukan?”. Sampai akhirnya waktu itu saya memutuskan untuk ambil S2. Nggak muluk-muluk untuk masuk ivy league, saya hanya berpikir masa masuk UI pakai jalur LPDP saja nggak bisa.
Ijin dari suami sudah saya kantongi, saya lanjut browsing sana sini, catat tanggal registrasi, nonton video-video di Youtube tentang cara menulis essai yang baik, follow akun Instagram UI dan LPDP, dll. Suatu hari, tiba-tiba saya tahu saya hamil anak pertama. Saya yang sangat suka anak kecil memang punya cita-cita menjadi seorang ibu sejak remaja.
Saya jadi ingat, sejak sebelum menikah saya suka follow akun parenting dan beberapa mommygram dengan sejuta tips-tipsnya yang saya catat dan simpan, supaya bisa saya terapkan nanti ke anak saya. Setelah menikah, karena beberapa hal, saya dan suami memutuskan menunda untuk langsung punya anak. Keinginan tersebut sungguh nyata meskipun hanya didalam hati. Dan kini setelah hamil, saya merasa sangat excited dan amat bersyukur, sampai-sampai akhirnya semua rencana saya berubah. As simple as that, mission aborted.
Saya sempat merasa cemas saat itu. Dibalik kebahagiaan yang saya rasakan, ada kekhawatiran bahwa masa produktif saya akan berakhir. Bahwa saya tidak akan menghasilkan achievement lagi. Beberapa waktu berlalu, beberapa buku yang saya baca, beberapa kelas prenatal yoga yang saya hadiri, dan beberapa orang-orang dan komunitas baru yang saya temui, akhirnya berhasil membuat saya bangun untuk melihat sisi lain dari masa depan saya, disaat setan bernama “comparison” itu muncul di pikiran.
Comparison is a contentment killer. Ibarat jalanan, saya percaya masing-masing dari kita sudah punya jalurnya sendiri-sendiri. Kalau sepeda masuk jalur busway, bisa terlindas. Kalau metromini masuk jalur busway, pasti susah untuk cari penumpang. Kalau Ferrari di jalur busway, jadinya nggak bisa dibawa kebut-kebutan. Atau malah ditilang.
Ketika saya berhasil melihat kehidupan dengan cara seperti itu, ternyata hidup terasa jauh lebih enteng. Saya yang tadinya insecure dengan diri sendiri dan jealous melihat kesuksesan orang lain, menjadi turut bahagia ketika melihat keberhasilan dan pencapaian yang orang lain alami. Terlebih lagi, saya jadi lebih bisa fokus dengan apa yang sedang saya jalani sekarang karena pencapaian orang tidak lagi mengganggu pikiran saya. Saya merasa lebih ‘content’.
Mungkin ada yang menyayangkan keputusan saya akan pendidikan lanjutan yang tidak jadi saya ambil. Tapi saya yakin, ini bukanlah suatu kegagalan, melainkan hanyalah penundaan untuk sesuatu yang saya yakin lebih besar nantinya. Untuk sekarang, saya akan berada di jalur saya. Kedepannya, kalau saya mau tancap gas, mungkin sesekali menarik rem, atau mau pindah ke jalan tol, saya yakin hal itu bisa terjadi.
Hope you find your lane and find contentment in cruising through it.