Investasi Antara Putin dan Gresham
24 March 2022
Sangat menarik memperhatikan perkembangan konflik antara Rusia-Ukraina kini, karena apapun yang terjadi di sana akan sangat mempengaruhi pergerakan pasar saham dan obligasi global. Saya jadi teringat dengan salah satu hukum terkenal di dalam ilmu ekonomi moneter yaitu Gresham Law yang menerangkan bahwa “bad money drives out good money”. Hukum ini dipopulerkan oleh ekonom Inggris Henry Dunning pada tahun 1860 - dinamai dengan nama seorang ahli keuangan asal Inggris Thomas Gresham yang hidup di abad ke 16. Secara harafiah hukum ini berbunyi jika ada dua mata uang di dalam satu pasar yang mana nilai mata uang yang satu lebih rendah dibandingkan dengan mata uang yang lain, maka mata uang yang bernilai rendah akan lebih banyak digunakan masyarakat dibandingkan dengan uang yang bernilai lebih tinggi. 

Hal ini terjadi karena prilaku manusia yang cenderung menyimpan barang yang lebih berharga untuk dirinya sendiri, digunakan sebagai tabungan untuk dipakai sewaktu-waktu, dibandingkan dengan uang yang nilainya lebih rendah. Misalnya gini, jika di saku kita ada uang 100 ribuan satu lembar dan uang 50 ribuan dua lembar maka kecenderunganya kita akan membeli sesuatu katakanlah minyak goreng dengan uang 50 ribuan terlebih dahulu, karena uang 100 ribu tadi sayang jika langsung ditukar dengan minyak goreng. Inilah yang selalu menjadi alasan kenapa kertas uang yang bernilai lebih rendah terkadang sering lebih lusuh dibandingkan uang 100 ribuan, karena uang yang di bawah 100 ribu itu lebih sering berputar di antara kita.

Bagi saya Gresham Law menjadi penting akhir-akhir ini untuk menebak arah ekonomi global dan Indonesia kedepan di tengah ketidakpastian yang begitu tinggi akibat perang yang masih berkecamuk antara Rusia dan Ukraina. Perang yang diperkirakan tadinya dapat selesai dalam waktu singkat ini, karena timpangnya kekuatan militer kedua negara ternyata berlangsung cukup lama, disebabkan keinginan Rusia untuk meminimalisasi korban sipil yang jatuh di Ukraina. Strategi bumi hangus oleh Rusia untuk mempercepat penaklukan pun sulit dilakukan.

Sementara itu dari sisi Amerika Serikat dan NATO sebagai pendukung Ukraina, seperti yang sudah diduga sebelumnya, hanya dapat membantu Ukraina secara tidak langsung, karena jika AS dan NATO membantu perang militer secara langsung, maka seluruh dunia harus bersiap dengan kemungkinan terburuk yaitu Perang Dunia Ketiga seperti apa yang dikhawatirkan oleh Presiden Biden.  

Kemungkinan hasil akhir dari perang ini adalah sanksi ekonomi yang sangat berat, yang dikenakan negara-negara barat terhadap Rusia. Kita sudah tahu bahwa perbankan Rusia sudah dikeluarkan dari sistem transaksi keuangan global bernama Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunications (SWIFT). Konsekuensi dari sanksi ini adalah perbankan di Rusia tidak akan bisa memfasilitasi kegiatan ekspor-impor antara negara. Sehingga kegiatan ekspor-impor Rusia dapat lumpuh total. Selain itu cadangan devisa bank sentral Rusia yang ada di perbankan Eropa dan Amerika Serikat sebesar USD 600 miliar dollar juga sudah dibekukan. Dengan demikian semakin sulit bagi bank sentral Rusia untuk menjaga nilai tukar rubel yang sudah jatuh 32% year to date terhadap dollar AS. 

Namun jika kita melihat struktur ekonomi Rusia yang selalu mencetak current account surplus  kondisi di mana ekspor barang dan jasa selalu lebih tinggi dari impor sebesar 3% dari GDP setiap tahunnya, kita langsung tahu bahwa Rusia sejatinya tidak begitu bergantung terhadap investasi portofolio global untuk mempertahankan nilai tukarnya. Sebagai catatan, negara-negara yang mengalami current account surplus secara fundamental akan memiliki mata uang yang relatif stabil karena jumlah arus mata uang asing yang masuk lebih besar dari jumlah uang yang keluar.

Namun masalah menjadi pelik ketika transaksi Rusia dibatasi untuk menggunakan akses perbankan internasional dengan mata uang dollar sebagai alat transaksi perdagangan sehingga aktivitas ekspor dan impor Rusia menjadi sangat terganggu. Rusia seharusnya sudah memikirkan bahwa hal ini akan terjadi ketika memutuskan menginvasi Ukraina, sehingga banyak dari kalangan ekonom yang berpikir bahwa Rusia akan menggunakan mata uang China yuan pengganti dollar sebagai alat transaksi perdagangan dengan sistem pembayaran menggunakan sistem yang dibangun China yaitu Cross Border Interbank Payment Sytem (CIPIS). 

Namun, strategi yang diambil Putin benar-benar diluar dugaan banyak ekonom. Putin akhirnya memutuskan untuk mewajibkan setiap negara yang mengimpor minyak dan gas dari Rusia untuk membayarnya dengan rubel. Hal ini menjadi kejutan tersendiri bagi negara-negara barat yang tadinya akan mempersiapkan sanksi yang keras terhadap China jika negara tersebut membantu Rusia secara keuangan dan militer dalam menghadapi isolasi negara-negara barat. Jika kita bedah struktur ekspor Rusia yang senilai USD 388.4 miliar setahun tersebut, 53% nya adalah minyak dan gas dan 11.2% adalah metal berharga seperti nikel, uranium, tembaga, dan 8% nya adalah pupuk. Rusia merupakan negara eksportir minyak terbesar kedua setelah Saudi di mana 40% impor energi Eropa di supply oleh Rusia. 

Dengan keputusan Putin untuk mewajibkan Eropa mengimpor minyak dan gasnya hanya dengan rubel, maka permintaan rubel akan sangat tinggi di pasar keuangan dunia karena Eropa sangat bergantung pada energi Rusia. Ketika keputusan Putin dirilis, rubel langsung menguat 5.6% terhadap dollar. Selain itu keuntungan yang dapat diambil oleh Rusia adalah rubel dapat menjadi mata uang tandingan dollar selain euro. 

Jika kita merujuk pada Gresham Ław di atas, di mana uang jelek akan menendang uang bagus keluar, maka sangat mungkin rasanya jika permintaan rubel akan terus meningkat dari waktu ke waktu terutama bagi negara-negara yang sangat membutuhkan minyak dan gas Rusia, dan malah bisa jadi salah satu alternatif alat tukar selain dolar. Dengan nilainya yang sudah jatuh sekitar 30% dengan dollar juga berarti bahwa harga minyak Rusia dalam rubel menjadi jauh lebih murah dibandingkan harga minyak di pasar global yang menggunakan dollar. Sehingga bagi negara importir seperti China dan Eropa akan jauh lebih untung bertransaksi dengan menggunakan rubel. Jika kondisi ini berlanjut maka sangat mungkin nasib dollar akan sama seperti pound sterling pasca perang dunia kedua, tetap mahal namun jarang digunakan.    

Ini juga merupakan suatu keuntungan bagi Indonesia negara yang setiap tahunnya mengalami defisit migas. Dengan adanya mata uang alternatif seperti rubel maka Pertamina dapat langsung membeli minyak di pasar Rusia dengan harga jauh lebih murah dan menggunakan mata uang alternatif yaitu rubel. Setalah menganalisa ini saya lantas terdiam dan bertanya sendiri. Inikah akhir dari hegemoni dollar AS?

Written by Ahmad Mikail
List of Authors
Subscribe
Get up-to-date information by signing up for our newsletter
Contact Us
We are happy to answer any questions you may have
Address
Sahid Sudirman Center
Jalan Jend. Sudirman Kav.86, Lantai 12
Karet Tengsin, RT.10/RW.11
Daerah Khusus Ibukota Jakarta
10220