Annoying One Person for the Rest of Our Lives
07 March 2022
Oktober 2012. Seorang pria beranjak bangun dari tidurnya dan memulai kegiatannya hari itu sebagai seorang pengelola investasi. Hari itu, adalah hari yang berjalan biasa untuknya. Tidak ada yang spesial. Namun hari itu, ada yang berbeda dari langkahnya. Tanpa firasat, tanpa sebab, dia mendapat suatu dorongan yang kuat untuk berhenti dari pekerjaannya. 

Singkat cerita karena dorongan tersebut, berhentilah ia dari pekerjaannya. Suatu hal yang jika dipikir dengan logika, cukup aneh. Karena keputusannya berhenti dari pekerjaannya itu, tidak ditopang dengan tawaran pekerjaan atau kesempatan bekerja di perusahaan lain. Di mata orang lain, mungkin sang pria dianggap sedang mengalami quarter-to-mid life crisis

Selama beberapa bulan, dia hanya mengelola dana pribadinya dan sedikit dana milik teman seniornya yang juga berada di pasar modal. Sampai pada suatu hari ditengah sabbatical-nya tiba-tiba datanglah suatu tawaran pekerjaan mengelola investasi di sebuah perusahaan bersama dengan sahabat baiknya sejak bangku kuliah. Bagaikan takdir. 

Saya pertama bertemu dengan pria tersebut pada bulan Agustus 2013. Pertemuan yang untuk saya, tidak terlalu berkesan karena hari itu saya bertemu dengan banyak sekali orang. Namun dia mengingat saya, katanya. Pada pertemuan kedua kami, dia meninggalkan kesan pertama terbaik kepada saya. Dia membuat saya tertawa berkali-kali lewat lawakan dan leluconnya. Dan hari itu, hidup saya juga ikut berubah.

Sense of humor, the ultimate factor of attraction. Ditambah dengan perhatian dan kasih sayangnya, tentu saja membuat saya jatuh cinta.

Saya tidak pernah menyangka bahwa pria tersebut ternyata akan menjadi suami saya. Bagaimana tidak, secara kepribadian, kami bisa dibilang bertolak belakang. Suami saya begitu nyaman tinggal dan bersantai di rumah, sedangkan saya senang bergaul dan jalan-jalan. Saya senang berlibur, suami saya hampir tidak pernah mengambil cutinya selama belasan tahun bekerja. Seumur hidup saya tinggal di landed house bersama orang tua saya, kecuali ketika tinggal di asrama. Sedangkan suami saya, sejak bekerja tinggal sendiri dan selalu di apartment. Lemari 1 kamar tidak cukup untuk menyimpan pakaian saya, sedangkan selama beberapa tahun bekerja dia hanya punya dua pasang celana kerja.

Begitu juga dalam berinvestasi. Sebagai sosok yang pertama mengenalkan konsep berinvestasi secara sesungguhnya kepada saya, kami berdua secara cepat menyadari bahwa kami memiliki gaya natural berinvestasi yang sesungguhnya sangat berbeda. Suami saya adalah sosok yang naturally bullish, sedangkan saya orang yang ternyata naturally bearish. Perbedaan dalam menyikapi investasi ini, tentu saja membuat kami sering berdiskusi untuk mempertajam berbagai ide, termasuk ketika berinvestasi. 

Ketika saya ingin mendalami bidang investasi, Arfan (nama suami saya) adalah sosok yang paling mendorong dan menyemangati saya, bahkan dia yang mencarikan seorang tutor yang sangat senior di pasar modal. Pertanyaan-pertanyaan saya, walaupun mungkin terlihat bodoh dan simple baginya, selalu dia pikirkan dan jawab dengan serius. 

Seiring dengan perjalanan kami, ternyata hal-hal yang bertolak belakang ini adalah hal yang memungkinkan saya untuk bertumbuh jauh lebih luas lagi. Berada dalam suatu tempat aman dimana saya bisa belajar tanpa harus merasa kerdil atau bodoh, diperbolehkan untuk bertanya dan mengembangkan diri seluas-luasnya. Menurut saya, ini adalah lingkungan yang ideal untuk siapapun bertumbuh. 

Saya bisa bayangkan kalau saya belajar dari seseorang yang mungkin tidak sayang (cie…) sama saya, mungkin saya sudah menyerah dari minggu pertama. Kebebasan untuk mengutarakan pendapat dan bertanya, mungkin adalah suatu fondasi yang sangat penting dalam pembentukan cara berpikir kritis dan belajar. Dan lebih dari itu, keberadaan feedback loop untuk menjadi check and balance serta challenge system kita dalam kehidupan sehari-hari. 

Karena posisi saya sebagai pemula yang masih cukup naif, seringkali banyak ide-ide yang menurut saya revolusioner dan brilian yang tentu saja pada kenyataannya, ternyata tidak sekeren atau se-aplikatif yang saya pikir. Dalam suatu partnership, sangat penting bagi kita untuk dapat menertawakan kesalahan dan ide-ide kita yang ternyata tidak terlalu brilian. Jika kita berada dalam suatu hubungan yang penuh dengan tekanan, dimana kita tidak bisa mengekspresikan ide-ide kita yang ternyata tidak “sebegitunya”, dan lalu bisa recover serta melihat situasinya dengan sense of humor, bukankah kita akan cepat atau lambat merasa sesak? 

Berapa lama kita dapat bertahan dalam kondisi seperti itu? 

Jika dipikir-pikir, saya sangat bersyukur bisa bertemu dan menikah dengan seseorang yang sebenarnya adalah seorang complete opposite dari diri saya sendiri. Sekarang saya tidak bisa membayangkan jika saya berakhir bersama dengan orang yang sama persis dengan saya. Bukankah nantinya saya malah membuat sebuah echo chamber? 

Tentu saja, situasi ini jika kita jalani dengan perasaan cinta dan kasih sayang akan terasa lebih indah dan mudahi. Kasih memampukan kita untuk menerima perbedaan dan mengapresiasinya. Juga membantu kita untuk memaafkan, untuk menjadi murah hati dan peka terhadap perasaan orang lain. Ketika salah satu pihak melakukan kesalahan, kasih memampukan kita untuk berbesar hati menerima, memaafkan, dan membantu pihak tersebut untuk bangkit kembali. Tanpa kasih, mungkin kita akan cuek terhadap pertumbuhan pihak lain dalam hubungan kita. 

Tidak ada  hubungan yang sempurna, namun ketika kita bisa bertumbuh bersama dengan kasih, rasa sayang, dan rasa humor, proses ini akan terasa lebih mudah. Membantu satu sama lain untuk sampai pada titik potensi terbesar mereka, dan having fun along the way. 

Mungkin hal ini, to an extent, bisa juga berlaku ketika kita bekerja. Betapa menyenangkannya jika kita bisa berada dalam lingkungan yang memang merupakan tanah yang cocok untuk kita bekerja dan bertumbuh. Tanpa rasa takut, tanpa rasa sesak dalam tekanan. Namun dengan kasih dan motivasi rasa cinta terhadap apa yang kita lakukan, dan tentu saja dengan orang-orang yang mengelilingi kita sehari-hari. 

“A great marriage is not when a perfect couple comes together. It is when an imperfect couple learns to enjoy their differences.”

Written by Jessica Wijaya
List of Authors
Subscribe
Get up-to-date information by signing up for our newsletter
Contact Us
We are happy to answer any questions you may have
Address
Sahid Sudirman Center
Jalan Jend. Sudirman Kav.86, Lantai 12
Karet Tengsin, RT.10/RW.11
Daerah Khusus Ibukota Jakarta
10220