Kisah dari Panti Jompo
10 March 2022
Saat awal mendengar kota Xi’An, Ibukota provinsi Shaanxi bagian barat daya China di lockdown pada akhir tahun lalu, awalnya saya cukup cuek bebek. Biasa aja. Toh China memang terkenal suka menerapkan lockdown lokal saat ada lonjakan kasus covid di suatu daerah.


Tapi satu hal yang cukup berbeda dan menarik perhatian saya, yaitu ramainya pembicaraan seputar lockdown kota Xi’An ini di group chat yang isinya teman-teman Chinese saya pada kuliah jaman dahulu.

Tidak lama, beberapa kanal media, terutama media asing, juga meramaikan cerita tentang begitu ketatnya lockdown yang disebut-sebut mirip dengan yang terjadi di kota Wuhan pada awal pandemi lalu. 

Jujur, saat terjadi outbreak pertama covid19 di kota Wuhan pada januari 2020 lalu, saya kebetulan sedang berada di China untuk sebuah business trip. Saya tahu betul seberapa tense keadaan saat itu.

Balik ke kota Xi’An, tempatnya pasukan terracotta yang melegenda itu.

...Karena penasaran tentang keadaan disana, toh sekalian jadi alasan buat ngobrol, saya call seorang teman lama yang kebetulan memang tinggal disana.

Saya cukup dekat dengan teman yang satu ini, jaman kuliah dulu saya sering sekali nyontek PR, tugas, dan laporan miliknya.

Entah memang dia lagi bosan karena tidak boleh keluar sama sekali, atau karena memang sudah lama sekali kita tidak ngobrol, pembicaraan singkat yang awalnya hanya seputar keadaan lockdown berubah menjadi sebuah long talk hingga lebih dari 2 jam.

Beragam topik kami bahas malam itu, mulai dari gossip seputar teman lain, pekerjaan, hingga keluhan tentang harga nasi goreng yang naik setiap tahun.

Hingga akhirnya, topik pembicaraan kita sampai ke tema investasi, lebih tepatnya investasi di panti jompo. 

Terkesan random memang, tapi teman saya bercerita tentang sebuah trend di China, dimana mulai banyak anak-anak yang ‘menyerahkan’ orang tua mereka ke panti jompo. Hal ini juga terlihat dari banyaknya panti jompo baru dan iklan seputar hal tersebut.

Miris sekali, mengingat budaya timur kita terkenal dengan prinsip 孝顺 ‘Xiào shùn’ atau berbakti kepada orang tua.

Kebutuhan hidup yang semakin tinggi, terjepit sebagai generasi sandwich, serta fakta bahwa banyak dari mereka adalah anak tunggal karena kebijakan one child policy China bertahun-tahun lalu, membuat banyak anak muda katanya tidak memiliki kemampuan finansial yang cukup untuk membiayai hidup orang tua dan mertua mereka saat memasuki pensiun. 

Ditambah lagi, tidak sedikit tabungan pensiun orang tua yang harus habis untuk membantu anak mereka membeli rumah yang harganya naik terus setiap tahun. Jadilah banyak orang tua semakin tergantung pada anak di masa pensiun.

Sebagai seorang Certified Financial Planner, saya percaya pengelolaan keuangan yang baik sejak awal bisa mencegah kesulitan tersebut, apalagi katanya orang China terkenal jago mengatur keuangan, kan?

By the way, bagi yang belum tahu, punya rumah adalah sebuah syarat mutlak bagi seorang pria untuk dapat menikahi gadis pujaannya disana. Kalau punya mobil jadi nilai plus tentunya. 

Jika tidak punya dua-duanya? Bisa jadi leftover men.

...Sekedar penjelasan singkat tentang gambar diatas, Price to Income Ratio kota Beijing sebesar 51x.  

Artinya, butuh menabung selama 51 tahun, tanpa makan tanpa minum, agar seseorang dengan pendapatan average di kota Beijing bisa membeli rumah. 

Ngga salah baca kok, nabungnya tanpa makan dan minum selama 51 tahun.

“Bro beli rumah ga wajib cash keras kali”. Ok, betul. Beli rumah tidak harus pakai cash keras. Tapi aturan down payment disana yang sebesar 20% untuk apply KPR juga berarti menabung 10 tahun income kan?

Kembali ke trend panti jompo. Menurut saya pribadi, alasan mengapa trend ini bisa terbentuk, mungkin sebenarnya bukan hanya dari kesulitan finansial saja.

Jadi masalahnya dimana?

Salah satu tebakan saya, adalah kadang kita lupa akan hal yang terpenting dalam hidup. Bahasa kerennya sometimes we simply forget what matters the most in our life.

Bagi banyak orang, tidak terkecuali saya, berusaha mewujudkan impian dengan cara bekerja keras mengejar karir atau membangun usaha, menjadi fokus utama di masa muda. Tentu ini tidak salah, malah mungkin memang seharusnya begitu? Tapi terkadang, rasanya kita terlalu fokus dan sibuk hingga lupa akan hal-hal lain disekitar kita. 

Di case panti jompo, salah satu penyebabnya, menurut saya, adalah semakin sedikitnya waktu yang dihabiskan dengan orang tua.

Banyak anak muda di China yang menghabiskan waktu seharian untuk sekolah dan tutoring, sejak SMA sehari-hari juga tinggal di asrama, hanya ketemu orang tua di akhir pekan. Lulus SMA, banyak yang mengejar pendidikan di universitas ternama di kota besar, hingga akhirnya bekerja dan menetap disana. 

...Jatah cuti tahunan yang cuma 5 hari di China juga tidak banyak membantu. Bayangkan harus membagi cuti 5 hari untuk pulang kampung, jalan-jalan, healing, dll? Melihat realita yang seperti ini, rasanya jadi tidak aneh jika prinsip 孝顺 ‘Xiào shùn’ diatas mulai ditinggalkan.

Tentunya setiap orang memiliki value yang berbeda dalam hidup, dan hal ini membuat impian atau things that matters the most kita berbeda satu sama lain. 

Apapun itu, saya percaya tidak ada salahnya untuk kita rehat sejenak dari kesibukan kita untuk think again, apakah kita sudah benar-benar menghargai things that matters the most to us?

Setelah menulis paragraf diatas, ditambah 5 menit untuk think again, saya memutuskan untuk menyudahi tulisan blog kali ini. Mau call dan ngobrol dengan orang tua dulu, selagi masih sempat.

At the end of life, what really matters is not what we bought, but what we built; not what we got, but what we shared; not our competence but our character; and not our success, but our significance. Live a life that matters, live a life of love. - Unknown

Written by Paulus Jimmy
List of Authors
Subscribe
Get up-to-date information by signing up for our newsletter
Contact Us
We are happy to answer any questions you may have
Address
Sahid Sudirman Center
Jalan Jend. Sudirman Kav.86, Lantai 12
Karet Tengsin, RT.10/RW.11
Daerah Khusus Ibukota Jakarta
10220