Ketinggalan Kereta Masriadi
10 February 2022
Dalam dua tulisan terakhir, saya banyak membahas soal kemampuan berpikir ulang (rethinking), yang juga bermanfaat di dunia investasi.

Namun sejujurnya, saya sendiri pernah begitu keras hati dan akhirnya kehilangan kesempatan emas (kembali ke emas sementara ini, sampai Bitcoin recover lebih lanjut). Kesempatan ini bukan di dunia pasar modal, melainkan di dunia lukisan.

Dari zaman sekolah, jujur saya sudah suka lukisan dan melukis. Bahkan saya aktif di sanggar lukis sekolah. Sampai orang tua khawatir saya akan jadi pelukis suatu hari.

Kekhawatiran yang sebenarnya tidak perlu karena guru sanggar terang-terangan bilang kalau saya defisit bakat melukis. Jujur, saya lebih tertarik ke dunia bisnis daripada seni. Terus kenapa suka main ke sanggar sekolah? Sebenarnya saya lebih tertarik sama teman-teman cewek di sana. Entah kenapa dunia seni seperti begitu memikat banyak cewek idola di sekolah. Mungkin karena cool factor-nya.

Fast forward ke awal tahun 2005. Saya sedang semangat-semangatnya berkarier di dunia pasar modal, bull market pasar saham Indonesia baru dimulai. Saya punya kesempatan menjadi dekat dengan dengan banyak investor hebat di pasar saham. Dari sana, saya belajar bahwa ternyata banyak investor hebat ini punya minat yang beragam. Termasuk minat di lukisan karya artis anak bangsa.

Salah satu investor ini dengan murah hati mengajak saya untuk melihat pameran lukisan di sebuah galeri di Jakarta. Lukisan yang sedang ditampilkan di sana adalah karya Nyoman Masriadi. Pelukis Bali yang tinggal di pusat dunia seni lukis Indonesia, Yogyakarta.

Di acara itu, saya coba untuk lebih menikmati lukisan Masriadi. Sahabat saya, yang juga investor top Indonesia itu, dikenal memiliki mata yang sangat tajam di dunia saham dan lukisan. Saat itu, ia meramalkan bahwa Masriadi akan menjadi artis maha-penting dalam sejarah seni rupa Indonesia. Jadi karyanya wajib untuk dimiliki. Implying multi-bagger opportunities?

Sayangnya, dengan PD saya malah bilang kalau tidak bisa membayangkan lukisan Masriadi akan mewarnai ruang kerja, ruang tamu, ruang makan, apalagi ruang tidur saya. No way!

Percakapan antara saya dan sahabat kurang lebih seperti ini:

Sahabat: “Udah, pelajari artis ini, dan invest di lukisan Masriadi.”

Saya: “Saya nih sudah mengikuti lukisan dan dunia pelukis sejak zaman sekolah. Nggak bisa paham lukisan model begini.”

Sahabat: “Ngaco kamu, ini sudah masuk era kontemporer. Dan Masriadi ini akan menjadi icon penting dunia seni kontemporer. Masriadi ini punya kemampuan untuk membuat nice mockery atas suatu isu yang begitu kompleks. Coba kamu temui artisnya dan bincang-bincang, nanti kamu akan mengerti”

Saya: “Enggak lah, saya paham seni rupa, ini mah…….”

Sang sahabat pun menggelengkan kepala dan akhirnya bilang “sak karepmu lah” (terserah kamu).

Fast forward ke periode akhir 2005 hingga 2008. Saya menyaksikan sendiri bagaimana apresiasi terhadap lukisan Masriadi meningkat pesat. Harga, tentunya juga ikut bergerak parabolic.

Di bulan Oktober tahun 2008 (yes, persis zaman Lehman!), saya membaca berita bagaimana karya Masriadi, The Man from Bantul, terjual di balai lelang Sotheby’s Hong Kong di angka HK$7,8 juta atau setara dengan Rp 9,71 miliar saat itu. Lukisan ini menggambarkan peta perpolitikan Indonesia yang juga terinspirasi dari komik DC dan game. Deskripsi yang menyingkirkan rasa kemanusiaan dan dijadikan tontonan pula bagi orang-orang sekitar. Sebagai perbandingan, lukisan Masriadi di awal 2005 masih di bawah seratus juta rupiah, 130x hanya dalam 3 tahun.

...Saya mulai memperhatikan lagi lukisan Masriadi. Tiba-tiba ada yang aneh. Lukisan Masriadi terasa begitu cantik dan memikat. Saya merasa kalau saya memilikinya, dengan senang hati akan saya taruh di ruang kerja, ruang tamu, ruang makan, apalagi ruang tidur!

Tidak lama kemudian, saya bahkan punya kesempatan untuk bertemu dengan sang artis di rumahnya di Yogya. Rumahnya asri, dan sejuk setelah hujan rintik-rintik sore itu. Bau rokok kretek menyapa. Yang juga menarik, banyak pelukis muda sedang nongkrong di rumah Masriadi. Rupanya hampir tiap hari mereka singgah di rumah Masriadi.

Saya nanya ke para pelukis muda itu, kenapa pada suka ngumpul di rumah Masriadi. Ternyata mereka rajin ngumpul di sekitar jam makan siang dan makan malam. Numpang makan. Karena para artis muda ini masih berjuang dalam hidup dan karier setelah mereka lulus kuliah kesenian di Yogya. Rupanya Masriadi tidak melupakan zaman susahnya, pada saat artis kelahiran Bali ini baru lulus dari Institut Seni Indonesia di Yogya.

...Dari perbincangan dengan Masriadi, saya jadi paham kenapa ia seorang artis yang begitu istimewa. Saya juga sempat berbincang dengan Jasdeep Sandhu dari Gajah gallery di Singapura. Juga dengan sahabat saya Kevin Rahardjo, investment banker Sucor Sekuritas yang lulusan Art History dan Master of Art Administration dari The University of New South Wales di Australia. Dari Jasdeep dan Kevin, saya belajar banyak soal Masriadi. Tujuannya lebih untuk belajar kesalahan saya, supaya tidak mengulangi di kemudian hari.

Growth mindset Masriadi memang luar biasa. Lukisan di masa awal kariernya tergolong biasa-biasa saja. Tidak langsung jadi pelukis sakti. Dia bukan pelukis “berbakat”, whatever that means.

Masriadi tidak suka banyak berbicara dan lebih memilih untuk berbicara melalui karya seninya. Karyanya sendiri terasa loud, berteriak begitu kencang, tapi pada saat yang bersamaan begitu personal dan memungkinkan begitu banyak level interpretasi. Tidak heran kalau Masriadi mampu mewakili Indonesia di dunia seni kontemporer internasional.

Karena sudah sangat terlambat buat saya untuk membeli karya Masriadi, akhirnya saya memutuskan untuk mengoleksi buku tentang Masriadi dan karya-karyanya. Selain untuk tetap bisa menikmati karya-karyanya secara intim, juga untuk mengingatkan diri saya sendiri untuk mencegah arogansi berpikir dan bersikap.

......Itu sebabnya buku ini sekarang hadir secara mencolok di ruang kerja saya. Kalau kita 100% yakin pada kemampuan dan strategi kita, sangat mungkin akan dibutakan oleh arogansi.

Saking kapoknya mengulangi arogansi serupa, sekali lagi saya meminjam framework berpikir Adam Grant di sini, The Confidence Sweetspot. Adam Grant adalah thought leader dan profesor perilaku organisasi dari Wharton School of the University of Pennsylvania,

...Arogansi, sok tahu soal dunia lukisan kontemporer, ini terjadi di kotak kiri bawah. Pilihan yang lain adalah situasi di mana kita merasa insecure, tidak yakin atas kemampuan kita untuk execute. Tapi di sisi lain paham bagaimana metode yang benar. Hasilnya juga jauh dari ideal, yaitu insecurity complex (kotak kiri atas).

Bagaimana kalau kita kekurangan conviction dalam kedua hal ini, tidak percaya pada diri sendiri dan tidak yakin pendekatan kita akan menyelesaikan masalah? Hasilnya adalah kanan atas, yaitu kita akan dilumpuhkan oleh rasa ragu yang akut.

Skenario apa yang terbaik? Yang IDEAL adalah punya keyakinan atas kemampuan kita, tapi tetap mampu mengapresiasi bahwa kita belum tentu punya solusi yang pas dan bahkan mungkin tidak sedang berhadapan dengan masalah yang sebenarnya. Kotak di kanan bawah ini namanya confident humility.

Confident humility ini akan memberi kita cukup keraguan untuk mengkaji ulang pengetahuan lama dan berani mengeksplorasi pengetahuan yang baru. Hebatnya lagi, confident humility ini tidak hanya memberi peluang untuk berpikir ulang, tapi juga meningkatkan kualitas dari proses berpikir ulang kita.

Di dalam arogansi, kita buta akan kelemahan diri sendiri.

Dalam kerendahan hati (humility), kita memakai lensa reflektif. Berkaca.

Dalam confident humility, kita memakai lensa korektif, yang memungkinkan untuk mengatasi kelemahan. Ketidaktahuan kita. Sepertinya confident humility adalah sweetspot-nya. Percaya diri, tapi juga sangat sadar akan kelemahan kita.

Di dunia pasar saham, confident humility memungkinkan kita untuk dengan percaya diri mempertanyakan tesis dan bahkan aliran investasi sendiri. Sehingga tidak lagi ketinggalan kereta-kereta Masriadi berikutnya.

Di dunia bisnis dan karier, confident humility memungkinkan kita untuk tanya pertanyaan yang benar. Hal ini penting karena kualitas hidup ditentukan oleh kualitas pertanyaan kita. Pertanyaan yang benar akan menggiring kita untuk berkomitmen ke proyek-proyek yang significant dan menciptakan values yang masif.

Fokus ke hal-hal yang menciptakan values besar akan mengeliminasi distraksi dalam hidup kita dan membawa fokus yang tajam. Hasilnya adalah pencapaian level mastery.

Sacara kontra intuitif, jauhhhh lebih mudah untuk bermain di level mastery daripada di level ordinary (biasa-biasa saja). Karena kompetisi jauh lebih keras di level ordinary.

Sementara di level mastery, kompetisinya jauh lebih lunak. Mengapa demikian? Kebanyakan orang sangat takut bermain di level mastery. Apalagi berkomitmen untuk berkarier di level ini.

Bagaimana saya tahu? Karena ini cocok dengan jiwa saya yang suka malas bersaing. Saya kok suka yang gampang-gampang saja. Dan juga karena saya sudah bayar uang sekolahnya, dengan ketinggalan kereta Masriadi.

Written by Wuddy Warsono, CFA
List of Authors
Subscribe
Get up-to-date information by signing up for our newsletter
Contact Us
We are happy to answer any questions you may have
Address
Sahid Sudirman Center
Jalan Jend. Sudirman Kav.86, Lantai 12
Karet Tengsin, RT.10/RW.11
Daerah Khusus Ibukota Jakarta
10220