Home Sweet Home
22 September 2021
Memiliki rumah masih menjadi salah satu mimpi dan simbol kesuksesan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Sayangnya, harga hunian semakin tak terjangkau dan menggeser tempat tinggal mayoritas masyarakat perkotaan semakin jauh dari pusat kota dan kegiatan bisnis dan ekonomi.

Dalam laporan Time to ACT: Realizing Indonesia’s Urban Potentials yang dikeluarkan oleh Bank Dunia di 2019, lembaga internasional yang bermarkas di Washington, DC, Amerika Serikat itu mengutip berbagai penelitian yang menunjukkan tingginya harga hunian di beberapa kota besar di Indonesia.

Rasio harga rumah dibandingkan rata-rata pendapatan masyarakat (house-price-to-income ratio) di Jakarta, Bandung di Jawa Barat, dan Denpasar di Bali ternyata lebih tinggi dibandingkan beberapa kota besar di dunia, seperti New York di AS dan Singapura. 

Rasio harga di Jakarta, misalnya, tercatat sebesar 10,3. Ini berarti harga rumah di Jakarta bernilai sekitar 10,3 kali dari median pendapatan masyarakat Jakarta. Sementara itu, rasio di New York ada di angka 5,7 dan Singapura di 4,8.

Tingginya harga rumah yang disertai dengan sulitnya akses terhadap pembiayaan perumahan membuat seperlima dari masyarakat perkotaan di Indonesia tinggal di wilayah kumuh pada tahun 2015.

...
Indeks Harga Properti Residensial (IHPR) yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia (BI) menunjukkan harga hunian telah melonjak hampir dua kali lipat dibandingkan pada 2011 lalu. Di saat yang sama, data Badan Pusat Statistik menunjukkan pertumbuhan penghasilan rata-rata masyarakat Indonesia yang cenderung stagnan. Hal ini menjelaskan sulitnya masyarakat untuk memiliki rumah mereka sendiri.

...
Kenaikan harga rumah dan rata-rata penghasilan yang tidak seimbang ini membuat angka housing backlog di Indonesia relatif tinggi. Kekurangan perumahan ini mencapai sekitar 13,5 juta di 2010. Presiden Joko Widodo di awal masa jabatannya telah berjanji untuk menurunkan angka backlog tersebut yang diikuti dengan peluncuran Program Sejuta Rumah. Program pemerintah ini memiliki misi membangun satu juta rumah murah tiap tahunnya bagi masyarakat berpenghasilan rendah.

Selain itu, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat telah mengeluarkan peraturan menteri yang mengatur harga tertinggi rumah bersubsidi. Kementerian juga meluncurkan program subsidi kredit kepemilikan rumah (KPR) dan menaikkan batas penghasilan bulanan masyarakat yang berhak mendapatkan subsidi. Langkah ini diambil agar semakin banyak pihak yang layak mendapatkan subisidi tersebut.

Berbagai kebijakan tersebut telah berhasil menurunkan housing backlog secara bertahap meskipun memang realisasi Program Sejuta Rumah masih di bawah target setiap tahunnya. Pemerintah menargetkan menurunkan backlog menjadi hanya sekitar 5 juta rumah di 2024.

...
Sayangnya, banyak rumah subisidi yang jaraknya jauh dari pusat kota, khususnya di wilayah Jakarta. Menggunakan Google Maps, kami menemukan bahwa beberapa proyek rumah bersubsidi jaraknya sekitar 40 km hingga 70 km dari kawasan Sudirman yang merupakan pusat kegiatan ekonomi di Jabodetabek. Jarak tempuhnya pun berkisar antara dua hingga empat jam bergantung pada moda transportasi yang digunakan.

Berbagai tantangan itu rupanya tidak menyurutkan minat anggota masyarakat untuk memiliki rumah. Dalam survey yang kami adakan pada Mei hingga Juni terhadap 371 responden yang mayoritas tinggal dan bekerja di Jabodetabek, terlihat lebih dari 91% masyarakat memiliki rencana membeli rumah.

...
...
...
Para responden juga masih menjadikan rumah tapak (landed house) sebagai favorit mereka ketika memilih hunian. Selain itu, lokasi dan akses yang mudah juga menjadi alasan utama mereka dalam memilih properti residensial.

...
Survey kami juga menemukan bahwa mayoritas responden berencana membeli rumah dengan harga di bawah IDR 500 juta dan metode pembayaran yang paling banyak diminati adalah dengan menggunakan KPR.

...
Di saat yang sama, responden ternyata juga berminat membeli hunian di kawasan berorientasi transit atau Transit Oriented Development (TOD) meskipun minat mereka terhadap rumah tapak cukup tinggi.

TOD adalah suatu konsep pembagunan yang mengintegrasikan hunian, pusat bisnis dan perkantoran, pusat kegiatan komersial, dan transportasi umum sehingga seluruh fasilitas tersebut dapat diakses dengan berjalan kaki. Konsep ini telah banyak diterapkan di berbagai kota besar di dunia, seperti Hong Kong dan Singapura. 

...
Dalam sebuah kajian yang diterbitkan oleh Kementerian PUPR pada November 2020 lalu pemerintah menyebutkan bahwa TOD biasanya berada di radius 400 meter hingga 800 meter di sekitar lokasi transit transportasi umum. Jarak tersebut dianggap sesuai untuk pejalan kaki. Selain itu, pemerintah juga mengatur kewajiban bagi pengembang TOD untuk menyediakan sedikitnya 20% dari unit hunian atau properti bertipe mixed use dengan harga yang terjangkau bagi pekerja, kelompok kelas menengah, dan masyarakat berpenghasilan rendah.

TOD ini memiliki dua tipe, yaitu TOD yang terintegrasi dengan jaringan bus rapid transit (BRT) dan yang terintegrasi dengan mass rapid transit (MRT) atau light rail transit (LRT). Saat ini ada lebih dari 10 kota di Indonesia yang telah memiliki BRT. Namun, belum ada developer yang berminat mengembangkan TOD berbasis BRT karena dianggap sebagai moda transportasi yang kurang nyaman karena penggunanya masih bisa terjebak kemacetan.

Oleh karena itu, berbagai proyek TOD yang telah ada saat ini dikembangkan dengan berbasis LRT atau MRT di wilayah Jabodetabek.

...
Beberapa developer telah mengembangkan berbagai proyek TOD di wilayah Jabodetabek. Beberapa di antaranya adalah PT Adhi Commuter Properti (ACP) yang merupakan anak usaha PT Adhi Karya (ADHI IJ), PT Ciputra Development (CTRA IJ), and PT Urban Jakarta Propertindo (URBN IJ).

Saat ini, ACP memegang proyek terbanyak dengan setidaknya 12 proyek di Jabodetabek. Sebanyak 11 dari 12 proyek tersebut berupa bangunan high-rise karena terletak dekat dengan pusat kota atau stasiun LRT.

...
Para developer tersebut optimistis jenis hunian TOD ini nantinya akan menjadi pilihan warga perkotaan di Indonesia, khususnya di Jakarta, karena menyediakan tempat tinggal dengan akses yang mudah ke tempat kerja maupun ke pusat perdagangan dan komersial. Ketersediaan tanah untuk perumahan di pusat kota semakin sempit dan mahal ditambah dengan kemacetan yang semakin parah akan menjadikan properti residensial berkonsep TOD sebagai pilihan masyarakat di masa depan.

Untuk membaca lebih lanjut mengenai prospek industri properti dan proyek TOD dalam OTG report kami, silakan klik tautan berikut ini https://bit.ly/otg_homesweethome .

Written by Prima Wirayani
List of Authors
Subscribe
Get up-to-date information by signing up for our newsletter
Contact Us
We are happy to answer any questions you may have
Address
Sahid Sudirman Center
Jalan Jend. Sudirman Kav.86, Lantai 12
Karet Tengsin, RT.10/RW.11
Daerah Khusus Ibukota Jakarta
10220