To The Moon?
26 May 2021
Janji to the moon” ini manis sekali. Siapa sih yang tidak mau ke bulan? 

Kalau mau memompa semangat orang di sekitar kita untuk beli saham atau kripto atau apapun, tidak lagi perlu banyak argumen. Kenapa mesti beli saham yang ini atau kripto yang itu, logikanya apa? Cukup dijawab “to the moon”, langsung semangat hajar kanan (haka) timbul. Seolah “to the moon” ini kode untuk cepat tajir yang harus diterima dengan keimanan penuh. 

Hanya saja saya lagi berpikir. Kalau saja kita hidup di era sebelum Neil Armstrong 1969, istilah “to the moon” tidak mungkin bisa dipakai. Seandainya manusia belum berhasil ke bulan sampai hari ini, mungkin istilah yang akan lebih banyak dipakai untuk membakar semangat haka adalah to the South Poleatau Kutub Selatan, untuk membangun imajinasi harga fantasi aset. 

Soal perjalanan ke Kutub Selatan itu sendiri, bisa dibilang merupakan sebuah bentuk pencapaian bersejarah bagi umat manusia. Kali pertama manusia berhasil mencapai Kutub Selatan adalah di tanggal 14 Desember 1911. Di hari itu, tim Norwegia di bawah kepemimpinan Roald Amundsen sukses mencapai Kutub Selatan, 34 hari lebih cepat daripada tim pesaingnya dari Inggris di bawah kepemimpinan Robert Falcon Scott. 

Tim Amundsen menciptakan rekor dan meraih kejayaan sedangkan tim Scott sangat terpukul karena ada tim lain yang mencapai Kutub Selatan kurang lebih sebulan sebelum mereka tiba. Saking terpukulnya, tim Scott kehilangan semangat hidup, kecapekan, dan harus meninggal karena frostbite. 

Beberapa anggota tim Scott sempat menulis surat cinta terakhir untuk orang-orang yang mereka cintai. Sebuah kisah yang mengharukan.  

Di salah satu buku favorit saya Great By Choice karya Jim Collins, ada pembahasan yang menarik tentang kesamaan dan perbedaan pengalaman, gaya manajemen, dan kepemimpinan antara Amundsen dan Scott.

Apa saja persamaannya? Keduanya hampir seusia, Amundsen 39 dan Scott 43. Dari segi pengalaman juga beda tipis-tipis, sama-sama senior. Momen dimulainya ekspedisi juga hampir bersamaan, hanya beda beberapa hari. Sayang ending-nya amat berbeda. Amundsen memimpin timnya ke kejayaan, sedangkan Scott membawa timnya ke bencana.

Dimana letak perbedaanya? 

Di usia akhir 20-an, Amundsen menempuh perjalanan 3.200 km dari Norwegia ke Spanyol dengan gowes! Persiapan fisiknya sudah spartan sejak usia muda. 

Amundsen juga bereksperimen makan ikan lumba-lumba mentah untuk menguji efektivitasnya sebagai sumber energi. 

Selain itu, ia juga belajar hidup di antara orang Eskimo dan melakukan observasi cara hidup mereka. Kalau dipikir, apa yang lebih efektif daripada belajar dari kaum yang punya jam terbang ratusan tahun hidup di cuaca ekstrem di kutub?

Dari kaum Eskimo, Amundsen mengadopsi untuk memperlambat gerak-geriknya dan pakai baju yang lebih longgar, demi menghindari produksi keringat berlebih dan memberi akses pada keringat untuk menguap. Karena di suhu udara di bawah nol, butiran keringat bisa menjadi es! 

Juga dari kaum Eskimo, Amundsen belajar mengandalkan pasukan anjing untuk menarik bekal logistik, karena anjing tidak berkeringat. 

Filosofi Amundsen sederhana saja. Jangan menunggu sampai badai tiba baru sadar akan pentingnya kekuatan dan daya tahan. Jangan sampai menunggu situasi terjepit, baru mau cari tahu soal apa yang boleh dan baik dimakan. Selalu bersiaga dengan intensitas, setiap saat, sehingga ketika kondisi berbalik, akan ada kekuatan yang bisa membantu bertahan. 

Sementara itu, intensitas dan metode persiapan Scott jauh lebih santai dan mainstream. Kuda poni yang dipakai tim Scott ternyata berkeringat, yang akhirnya menjadi es, dan sangat tidak efektif di cuaca kutub. Motor yang dipakai Scott babak belur hanya setelah beberapa hari dipakai di cuaca ekstrem. Akhirnya Scott mengandalkan tenaga manusia dari timnya untuk menarik perbekalan. Tentunya sangat menguras tenaga. 

Secara perbekalan, Amundsen juga selalu bersiap untuk skenario yang terburuk. Bekal logistik yang disiapkan tiga ton untuk 5 anggota tim Amundsen, dibandingkan 1 ton bekal untuk 17 orang di tim Scott. Selain itu, tim Scott membawa 1 termometer saja (yang akhirnya rusak di perjalanan), sedang tim Amundsen membawa empat termometer. 

Meminjam bahasa investasi, margin of safety tim Scott begitu tipis. Semuanya harus dalam kondisi sesuai perhitungan di atas kertas bagi tim Scott untuk bisa mencapai Kutub Selatan dan kembali dengan selamat. 

Tanggal 15 Desember 1911, tim Amundsen menancapkan bendera Norwegia di Kutub Selatan dan kembali ke home base dalam keadaan baik tanggal 25 Januari 1912. 

Sementara itu, tim Scott tiba di Kutub Selatan tanggal 17 Januari 1912 , atau lebih dari sebulan setelah tim Amundsen. Mereka menelan kekecewaan yang mendalam saat menatap bendera Norwegia telah ada di sana. Setelah kehabisan suplai dan di tengah depresi luar biasa, tim Scott ditemukan dalam keadaan membeku delapan bulan kemudian hanya 16 km dari depot logistik mereka. 

Kisah Amundsen dan Scott ini layak menjadi peringatan tentang pentingnya margin of safety, dalam konteks investasi. Saya jadi teringat Jesse Livermore, legenda pasar saham di awal abad 20, yang kisahnya diabadikan di buku wajib investor dan trader saham: Reminiscence of Stock Operators

Bahkan dengan skill-nya yang legendaris, Livermore pernah bilang: Don’t give me timing, give me TIME”. Seorang Livermore akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa yang penting adalah waktu (time), bukan timing. Karena kalau waktu di pihak kita, cuaca di pasar saham yang sedang tidak kondusif bisa kita lalui dengan baik. Sedangkan kalau kita terlalu agresif dengan memakai margin secara agresif, waktu tidak akan berpihak pada kita. Kesalahan perhitungan yang kecil pun bisa berakibat fatal.

Perlu diingat bahwa saham-saham hebat seperti Mayora, yang naik 170x lipat sejak tahun 2000 pun pernah beberapa kali mengalami penurunan yang tajam. Dalam arti koreksi 30 hingga 58%. 

Demikian juga di luar Indonesia. Amazon, misalnya, yang naik lebih dari 2.000x lipat sejak IPO di tahun 1997 juga pernah beberapa kali mengalami penurunan dalam skala yang masif, antara 56 hingga 94%. 

Kisah sukses Bitcoin juga sama. Kenaikan nilainya yang spektakuler sejak peluncurannya di tahun 2009 juga tidak luput diwarnai oleh penurunan 50-an % sebanyak 3x, penurunan di atas 80% sebanyak 2x, dan bahkan juga pernah turun lebih dari 90%. 

Diversifikasi portofolio sangat penting kalau kita ingin bisa bertahan memegang saham atau aset favorit kita melewati badai. 

Bayangkan kalau portofolio kita isinya 100% Bitcoin ataupun Amazon, dan sedang mengalami penurunan di skala 90-an persen. Kemungkinan besar kita akan panik, ribut dengan pasangan kita, menyerah, dan kehilangan kesempatan luar biasa untuk menikmati apresiasi yang maha dahsyat? 

Apalagi kalau kita menggunakan banyak margin dan leverage dalam berinvestasi...gara-gara bisikan halus “to the moon” dari orang lain. Nafsu FOMO menguasai, akal sehat kita kesampingkan, dan sedikit koreksi saja akan memaksa kita untuk bertekuk lutut.


Lain kali kalau ada yang bilang “to the moon”, saya akan mengingatkan diri sendiri “to the South Pole”. Biar ingat kisah Amundsen dan Scott.

Written by Wuddy Warsono, CFA
List of Authors
Subscribe
Get up-to-date information by signing up for our newsletter
Contact Us
We are happy to answer any questions you may have
Address
Sahid Sudirman Center
Jalan Jend. Sudirman Kav.86, Lantai 12
Karet Tengsin, RT.10/RW.11
Daerah Khusus Ibukota Jakarta
10220