Kalau kita lihat lebih jauh, kisah perjalanan perusahaan-perusahaan teknologi berstatus unicorn menuju bursa saham Indonesia ini terasa bagaikan sebuah dongeng pengantar tidur. Dunia mengenal unicorn sebagai hewan mistis bertubuh kuda dengan sebuah tanduk berulir mencuat dari dahinya, sering kali dengan surai berwarna-warni yang menjadikannya makhluk favorit dalam berbagai buku cerita dan film anak-anak.
Di sisi lain, dunia kini juga mengenal unicorn sebagai perusahaan rintisan di bidang teknologi yang memiliki valuasi di atas USD 1 miliar. Ada setidaknya enam perusahaan seperti ini di Indonesia yang berbagai layanannya kita gunakan sehari-hari.
Beberapa dari mereka telah secara terbuka mengungkapkan rencana untuk melakukan initial public offering (IPO) namun masih terganjal beberapa aturan bursa yang misalnya mengharuskan calon perusahaan tercatat untuk mencatatkan keuntungan setidaknya satu tahun buku terakhir. Dikarenakan model bisnisnya yang berbeda dengan perusahaan konvensional, memang hampir semua perusahaan unicorn saat ini belum mencatatkan keuntungan meskipun valuasinya sudah bernilai triliunan rupiah.
Nah, di tengah pesatnya pertumbuhan ekonomi digital terutama di masa pandemi COVID-19 ini muncullah kabar baik bagi perusahaan unicorn. Bursa Efek Indonesia (BEI) tengah merevisi Peraturan I-A yang kelak akan membuka peluang yang lebih besar bagi berbagai perusahaan seperti startup unicorn ini untuk mencatatkan sahamnya di bursa tanpa mengorbankan kualitas dan pengawasan dari regulator. Beberapa pejabat BEI yang sempat berdiskusi dengan kami meyakinkan bahwa revisi aturan ini akan dikeluarkan pada saat yang tepat dan sudah akan tersedia ketika ada unicorn yang hendak IPO.
Lantas siapa saja yang sudah secara terbuka menyampaikan keinginan untuk go public? E-commerce Tokopedia pada Desember tahun lalu mengatakan tengah mempertimbangkan rencana go public dan telah menunjuk Morgan Stanley dan Citi sebagai advisor. Perusahaan belum memutuskan akan mencatatkan sahamnya di bursa mana dan dengan metode apa sambil tetap membuka peluang untuk listing melalui special purpose acquisition company (SPAC).
Sementara itu, kabar merger antara Tokopedia dan Gojek gencar diberitakan. Merger itu kabarnya akan dilakukan sebelum kedua perusahaan mencatatkan sahamnya di bursa saham Amerika Serikat dan Indonesia. Bloomberg melaporkan valuasi perusahaan setelah merger akan mencapai USD 35 miliar hingga USD 40 miliar yang akan menjadikannya perusahaan terbesar ketiga di BEI setelah Bank Central Asia (BBCA) dan Bank Rakyat Indonesia (BBRI). Baik Gojek maupun Tokopedia belum mengeluarkan pernyataan resmi terkait rumor tersebut.
Di akhir Februari lalu, Traveloka mengatakan tengah mempertimbangkan rencana meluncurkan layanan keuangan di Thailand dan Vietnam sembari memproses IPO di AS. Perusahaan online travel agency itu sedang dalam pembicaraan merger dengan beberapa SPAC dan tetap mempertimbangkan opsi pencatatan saham di bursa dalam negeri.
E-commerce Bukalapak juga dilaporkan sedang bekerja sama dengan beberapa investment bank untuk memuluskan merger dengan SPAC sebelum listing di Wall Street dengan valuasi yang diperkirakan mencapai USD 4 miliar hingga USD 5 miliar. E-commerce ini juga mempertimbangkan kemungkinan IPO di bursa dalam negeri sebelum menandatangani perjanjian merger dengan SPAC tersebut. Microsoft dan PT Elang Mahkota Teknologi (EMTK) tercatat menjadi pemegang saham Bukalapak saat ini.
Berbagai IPO bernilai jumbo ini berhasil menarik perhatian investor ritel maupun institusi sebagaimana terlihat dari hasil survey yang dilakukan tim EXTREME On-The-Ground Sucor Sekuritas beberapa waktu lalu. Survey ini dilakukan terhadap lebih dari 300 investor perorangan dan 25 investor institusi. Hasilnya, 95% responden ritel mengaku tertarik membeli saham startup unicorn apabila mereka IPO sementara seluruh investor institusi mengatakan tertarik untuk mengoleksi saham perusahaan-perusahaan teknologi tersebut.
Ketertarikan para investor terhadap saham perusahaan rintisan ini sebenarnya telah tercermin dari kuatnya pertumbuhan indeks saham-saham teknologi yang tergabung dalam IDXTECHNO di BEI. Ketika report ini ditulis pada 12 Maret 2021 lalu, IDXTECHNO mencatatkan lonjakan hingga lebih dari 175% sejak awal tahun, jauh lebih kuat bila dibandingkan kenaikan saham-saham LQ45 dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sendiri.
Komisaris BEI Pandu Sjahrir dalam diskusinya dengan kami mengatakan lonjakan harga saham-saham dalam indeks teknologi ini menggambarkan permintaan investor yang jauh lebih kuat daripada suplai aset-aset teknologi dan menandakan optimisme pelaku pasar terhadap sector ini.
Mayoritas responden dalam survey kami pun menyuarakan optimisme mereka terhadap prospek saham-saham teknologi, khususnya unicorn. Sekitar 52% dari responden mengatakan harapan akan pertumbuhan ekonomi digital yang kuat menjadi alasan utama mereka ingin mengoleksi saham perusahaan unicorn. Sebanyak 40% persen menjadikan upaya asset rebalancing sebagai alasan mereka.
Mayoritas responden ritel maupun institusi sama-sama menjagokan e-commerce sebagai sektor ekonomi digital yang memiliki prospek paling cerah di masa depan. Konsekuensinya, perusahaan unicorn yang menjadi favorit mereka ketika IPO nanti adalah Tokopedia, diikuti oleh Gojek.
Selain itu, 44% investor ritel yang kami survey berencana menjual sebagian saham perusahaan konvensional yang ada dalam portofolio mereka dan menggantinya dengan saham perusahaan unicorn. Porsi yang rencananya akan mereka lepas mencapai 11% hingga 20% (35% responden) dan di bawah 11% (26% responden). Saham-saham yang akan mereka jual mayoritas saham consumer goods, diikuti saham pertambangan dan energi.
Investor institusi sendiri lebih terbuka terhadap asset rebalancing ini karena mereka memang diharuskan melakukan weighting terhadap IHSG agar portofolio kelolaan mereka mencerminkan komposisi saham-saham dalam indeks acuan. Sekitar 92% responden institusi berencana menjual sebagian saham perusahaan konvensional yang mereka miliki untuk memasukkan saham unicorn ke dalam portofolionya.
Sektor saham yang akan mereka lepas serupa dengan pilihan investor ritel, yaitu consumer goods, diikuti oleh pertambangan atau energi dan ritel. Seorang perwakilan investor institusi mengatakan kepada kami bahwa pihaknya juga berencana menjual saham-saham konvensional yang telah membukukan kenaikan yang cukup tinggi dalam 6-12 bulan terakhir.
Selain itu, kami juga mencari tahu minat investor ritel terhadap koin digital atau cryptocurrency yang cukup dekat dengan booming saham-saham teknologi. Kami menemukan hanya 23% responden yang mengatakan tidak tertarik untuk membeli koin digital sementara 36% menyatakan ketertarikannya.
Ketertarikan investor rite terhadap aset-aset kripto tergambar dari pernyataan CEO Indodax Oscar Darmawan bahwa platform perdagangan kriptonya memiliki lebih dari 2,7 juta pengguna, lebih tinggi dibandingkan jumlah investor ritel saham yang mencapai 1,68 juta tahun lalu.
Meski begitu, ia optimistis IPO perusahaan unicorn tidak akan berdampak pada minat investor terhadap aset kripto mengingat adanya perbedaan mendasar dalam perdagangan keduanya.
Untuk membaca lebih jauh mengenai hasil survey kami, silakan mengakses OTG report tersebut di tautan berikut ini: http://bit.ly/OTG_IndonesianUnicorns