Hong Kong Rasa Amerika
09 November 2020
Dulu, waktu masih jadi pimpinan di salah satu pialang saham multinasional dengan kantor pusat di Hong Kong, saya sering ditanya oleh staf baru, mengapa kalau terbang Jakarta-Hong Kong tidak diberi jatah business class. Jawaban saya, yang sesungguhnya saya pinjam dari mantan bos yang sering ditanya hal serupa, adalah karena durasi penerbangan Jakarta-Hong Kong kurang dari 6 jam. Walau kelihatannya kurang paham soal batas 6 jam, semua bisa menerima jawaban ini. Atau mungkin males debat sama bos.

Di era sebelum Covid, penerbangan Jakarta-Hong Kong memang berdurasi 5 jam. Idealnya ambil penerbangan tengah malam, tidur di pesawat, pagi-pagi tahunya sudah sampai dan bisa langsung kerja. Efisien.

Bagaimana penerbangan Jakarta-Hong Kong di era Covid? Kebetulan saya baru coba, jadi bisa cerita sedikit di sini.

Sebelum berangkat, calon penumpang harus membuktikan diri bebas Covid dengan mengambil tes PCR. Tes harus diambil paling lama 72 jam sebelum terbang. Juga tidak boleh di sembarang lab. Standar lab harus memenuhi persyaratan ISO 15189. Saya memilih untuk tes di RSPAD Jakarta, karena memenuhi semua persyaratan dan berlokasi di dekat kantor.

Sebelum terbang, calon penumpang juga diwajibkan melakukan booking hotel untuk masa karantina selama dua minggu di Hong Kong. Pilihan hotel ditetapkan oleh Pemerintah Hong Kong, dengan harga yang reasonable. Lumayan buat hotel-hotel di sana yang tentunya juga sedang menderita terkena dampak Covid.

Penumpang di era Covid disarankan untuk datang ke bandara sekitar empat jam sebelum penerbangan. Ternyata ini nasihat bagus. Banyak proses validasi yang dilakukan di bandara. Validasi bahwa pemesanan hotel sudah benar, misalnya. Juga validasi hasil tes PCR.

Saya melihat beberapa kisah sedih waktu antre di counter check-in tiket. Pasangan yang bertengkar gegara salah prosedur. Ada juga yang panik karena dokumen tidak lengkap. Mungkin urgensinya tinggi sekali untuk bisa terbang.

Setiba di Hong Kong, prosesnya juga tidak sederhana. Pemerintah Hong Kong, sejak awal kasus Covid merebak, sangat serius memandang risiko Covid ini. Di mata orang Hong Kong, Covid bukan hoax. Mereka sudah pernah berurusan dengan SARS di tahun 2003, jadi tidak mau kecolongan lagi.

Ada aplikasi bernama Stay Home Safe yang harus diunduh. Juga gelang yang harus dipakai selama periode karantina selama 2 minggu. Jaga-jaga agar tidak ada yang mencoba keluar dari kamar karantina, untuk berburu kuliner misalnya.

Ada dua tes lagi yang harus diambil setibanya di bandara Hong Kong. Tes bebas Covid. Untungnya tidak pakai metode colok hidung. Padahal sudah gelisah membayangkan akan dicolok dua kali lagi. Di bandara Hong Kong, yang dipakai adalah tes saliva. Tes yang ini membutuhkan “skill” yang berbeda. Menutup tabungnya harus rapi dan bersih, tidak boleh ada kebocoran.

Untungnya ada video petunjuk yang bisa dilihat di TV besar atau di ponsel, dengan cara scan QR code. Dengan ponsel lebih mudah karena bisa lihat berkali-kali. Masalahnya pilihan bahasa yang tersedia adalah bahasa Inggris dan Mandarin. Tentunya ini menyusahkan bagi mereka yang tidak paham minimal satu dari dua bahasa ini.

Saya perhatikan, beberapa tenaga TKI yang baru datang ke Hong Kong sempat bingung. Mereka tidak tahu mesti bertanya ke siapa. Saya coba jelaskan ke beberapa orang anggota rombongan pahlawan devisa itu dan tidak berapa lama saya sudah dikerubuti rombongan TKI. Baru saja selesai menjelaskan ke satu grup, ada lagi grup TKI berikutnya datang. Ya wes, sekalian saja saya jelaskan ulang, sudah tanggung. Akhirnya total ada 3 batch grup TKI yang menerima penjelasan saya. Deg-degan juga, moga-moga benar nih penjelasan saya.

Setelah semua dokumentasi, pemasangan gelang monitor, download aplikasi dan lain-lain yang memakan waktu kurang lebih 2 jam, kita diminta duduk manis menunggu dengan kursi yang telah diberi nomor.

Pada waktu menunggu, saya dipanggil via WA, karena rupanya harus mengulangi tes saliva lagi. Dan ternyata hanya saya sendiri yang dipanggil, yang tesnya gagal. Jadi saya boleh menang di teori tes Covid dan menjelaskan prosedur tes ala tour leader ke grup TKI. Tapi soal eksekusi, grup TKI lebih jago. Lessons learned, eksekusi memang paling penting.

Total, saya menunggu 10 jam di ruang tunggu yang kursinya berjejer rapi dan memperhatikan social distancing. Jadi total waktu yang saya perlukan untuk ke Hong Kong adalah 4 jam (tiba lebih dini di bandara Jakarta) + 5 jam terbang + 2 jam tes di bandara Hong Kong + 10 jam untuk menunggu hasil tes. Totalnya 21 jam! Ini baru namanya Hong Kong rasa Amerika Serikat.

Dua puluh satu jam plus karantina 2 minggu di kamar hotel di Hong Kong. Saya pikir sedikit sekali yang bersedia melalui semua ini kalau untuk tujuan berlibur. New normal itu sangat jauh dari normal.

Beberapa ide di dunia memang begitu anehnya sampai-sampai hanya orang yang merasa super intelek saja yang bisa paham. Mungkinkah new normal termasuk salah satu ide di kategori ini?

Konsekuensinya buat turisme global amat berat. Padahal, sebelum Covid, bidang-bidang yang terkait turisme mempekerjakan kurang lebih 10% dari angkatan kerja global.

Pemulihan turisme dan travel global akan memakan waktu yang panjang. Prosesnya akan sangat berliku, padahal sektor ini begitu pentingnya. Jadi siap-siap stimulus global satu dan yang lain akan datang silih berganti. Stimulus ini nirwana untuk aset, seperti pasar saham, properti, dan emas. Stay bullish!

Soal perjalanan ke Hong Kong yang sekarang totalnya jauh melebihi batas 6 jam, apakah berarti boleh naik business class? Entahlah, sudah bukan urusan saya. Lebih baik sekarang saya memikirkan isu yang lebih pelik: dua minggu karantina ini mau ngapain...

Written by Wuddy Warsono, CFA
List of Authors
Subscribe
Get up-to-date information by signing up for our newsletter
Contact Us
We are happy to answer any questions you may have
Address
Sahid Sudirman Center
Jalan Jend. Sudirman Kav.86, Lantai 12
Karet Tengsin, RT.10/RW.11
Daerah Khusus Ibukota Jakarta
10220