Awal Agustus lalu, dalam kunjungan ke Las Vegas,
saya terpikir untuk mampir ke kantor pusat perusahaan sepatu dan apparel
online Zappos. Rasa tertarik ini timbul setelah selama penerbangan ke
Amerika, saya membaca buku Delivering Happiness-nya Tony Hsieh, CEO
dan salah satu pendiri Zappos.
Zappos adalah kisah sukses yang sangat menarik
untuk dipelajari. Didirikan tahun 1999, Amazon membeli Zappos seharga USD 1,2
miliar di tahun 2009. Salah satu alasan utama Amazon membeli Zappos adalah
kultur Zappos yang sangat unik. Bahkan perusahaan sekelas Amazon bilang tidak
ada duanya. Amazon merasa banyak yang bisa mereka pelajari dari Zappos.
Misi hidup Zappos delivering happiness,
kultur super obsesif ke customer experience dan nilai-nilai Zappos telah
menjadi nafas, strategi bisnis dan aset utama Zappos, bukan sekedar poster di
dinding kantor.
Karena rencana kunjungan ke kantor Zappos ini
spontan, saya terlambat daftar. Setelah agak sedikit memaksa, staf Zappos –
mungkin kasihan saya jauh-jauh dari Indonesia atau mungkin ingin deliver
happiness - bilang “ok, silakan datang sekarang”.
Berhubung waktu yang tersedia super mepet, saya lompat ke taksi dari hotel tempat saya menginap. Melihat saya terburu-buru dan tegang, driver taksi pun membuka pembicaraan. Dengan nada meyakinkan, driver taxi tadi memastikan bahwa kita tidak akan terlambat dan saya langsung merasa tenang.
Nama driver tadi adalah Gerald Mazur.
Usianya 68 tahun dan dia akan pensiun 2 tahun lagi. Bekerja sebagai driver
taxi di kota turis Las Vegas, Gerald tentunya banyak bertemu dengan orang
asing. Ada banyak cerita yang dia dapatkan tentang keindahan banyak tempat di
dunia. Tapi Gerald belum pernah ke luar Amerika. Bahkan negara bagian Amerika
Serikat yang lain pun jarang dia kunjungi. Fokus Gerald saat ini bekerja dan
menabung.
Gerald toh tetap sangat bahagia. Impian
wisata ke luar negeri yang belum bisa dia wujudkan dia ganti dengan koleksi
mata uang dari tamu-tamunya. Bukan dengan marah-marah dan menyalahkan orang
lain. Saat ini, Gerald telah memiliki koleksi uang dari 169 negara di dunia,
dari total 195 negara yang ada di dunia. Dua tahun lagi Gerald akan pensiun dan
dia telah menabung untuk mewujudkan impiannya melihat dunia. Dia juga berharap
bisa melengkapi koleksi mata uangnya pada waktu dia pensiun nanti. Dan
kegembiraan Gerald sukses ditularkannya ke salah satu penumpangnya hari itu:
saya.
Satu nasihat yang Gerald ingat adalah kata-kata
ayahnya dulu “Nak, kamu akan bekerja dalam waktu yang sangat panjang. Jadi
lebih baik kamu mengerjakan sesuatu yang kamu cintai dan bekerja dengan hati.”
Gerald melaksanakan nasihat ayahnya. Dia bahagia, dan penumpangnya juga
bahagia. Delivering happiness ala driver taksi.
Tanpa terasa, saya telah tiba di kantor Zappos,
dan sesuai janji Gerald, tidak terlambat walaupun mepet. Hari itu Gerald
menambah koleksi mata uangnya: Rupiah Indonesia sebagai tip.
Kisah Gerald ini mengingatkan saya akan satu hal.
Bahwa secara intuitif kita sadar tujuan hidup kita ini adalah untuk mencari
kebahagiaan. Dan hidup yang berfokus mencari kebahagiaan ini tidaklah egois,
karena kita bisa melihat di sekitar kalau orang-orang yang berbahagia cenderung
lebih fleksibel, bergaul, toleran, kreatif, penuh cinta, dan pemaaf. Dengan
karakter ini, wajar kalau orang yang bahagia cenderung lebih sukses dalam
hidup?
Sebentar… apa tidak terbalik ya? Apakah sukses
membuahkan kebahagiaan atau kebahagiaanlah yang membuahkan sukses? Untuk
membantu menjawab pertanyaan ini, baru-baru ini saya bertemu dengan Mayor Inf
Alzaki, Perwira TNI AD pertama yang membuat rekor tercatat di Wall of Fame
US Army Command and General Staff College (CGSC).
Selain mendapatkan penghargaan dari the Simon
Center Writing Interagency, pada saat yang bersamaan Alzaki juga bisa
menyelesaikan program MMAS di US Army University dan MBA di Webster University.
Semua dengan IPK 4.0.
Cerita prestasi luar biasa putra Indonesia di
tempat pendidikan militer bergengsi di Amerika ini membuat saya tertarik untuk
bertanya langsung kepada Alzaki, yang kebetulan saya kenal baik.
Ternyata kisah masa kecilnya di Pariaman (Sumatra
Barat) sarat dengan perjuangan. Alzaki lahir prematur dan badannya lebih kecil
daripada bayi kebanyakan. Ibundanya harus dirawat di rumah sakit selama 49 hari
sebelum melahirkan Alzaki.
Cerita kehidupan ekonomi keluarga Alzaki pun
tidak kalah sulitnya. Secara total, keluarga Alzaki harus berpindah rumah 12
kali. Hampir semuanya karena satu hal: Alzaki kecil bersama orang tua dan dua
adik Alzaki harus pindah rumah di saat tarif sewa rumah dinaikkan. Saking
sulitnya kondisi ekonomi keluarga, bekerja untuk meringankan beban keluarga
adalah hal yang biasa bagi Alzaki. Berjualan asongan maupun membantu usaha
bengkel keluarga pernah dijalaninya.
Kisah Alzaki masuk ke akademi militer juga
menarik. Alzaki muda pernah hampir tenggelam gara-gara masuk ke sungai yang
arusnya deras. Alih-alih membuatnya trauma dan takut air, Alzaki malah
habis-habisan belajar berenang dan ikut kejuaraan renang daerah. Ia bahkan
sempat menang di pertandingan untuk seleksi atlet.
Waktu ikut kejuaraan renang itulah Alzaki melihat
poster dan foto-foto Akademi Militer. Terpesona, Alzaki yang tadinya ingin
menjadi dokter itu pun beralih cita-cita menjadi seorang prajurit dan
membaktikan dirinya untuk tanah air. Bertanya kesana kemari, akhirnya Alzaki
jadi tahu mengenai SMU Taruna Nusantara sebagai salah satu jalan untuk bisa
masuk ke Akademi Militer nantinya. Sekolah semi-militer di Magelang, Jawa
Tengah ini didirikan ditahun 1985 oleh legenda kepemimpinan Indonesia, Jenderal
LB Moerdani.

Banyak lulusan hebat yang telah dihasilkan
sekolah ini. Cita-cita Taruna Nusantara memang luhur, yaitu mendidik
manusia–manusia terbaik dari seluruh Indonesia dan menghasilkan lulusan yang
dapat melanjutkan cita-cita para Proklamator. Bagi Alzaki, beasiswa yang
diberikan oleh Taruna Nusantara tentu sangat membantu meringankan beban orang
tuanya. Juga di sekolah inilah, Alzaki belajar untuk super fokus. Waktu belajar
yang diberikan terbatas, jadi siswa-siswi dituntut untuk fokus penuh sewaktu
jam belajar.
Setelah Taruna Nusantara, Alzaki masuk ke Akademi
Militer (Angkatan 2004) dan berhasil lulus dengan penghargaan bergengsi Bintang
Adimakayasa dan Pedang Trisakti Wiratama. Juga meraih Peringkat 1 dari 3 Matra
AD, AU, dan AL saat pertama kali digembleng di kawah Chandradimuka, pendidikan
dasar keprajuritan lintas angkatan.
Lahir prematur, Alzaki mengaku fisiknya bukanlah
yang secara alami terkuat. Juga walau selalu juara kelas di kampung halamannya,
Alzaki bukanlah yang paling bagus prestasi akademisnya di Taruna Nusantara.
Jadi apa rahasia kisah suksesnya?
Menurut Alzaki, salah satu faktor utama adalah
dukungan luar biasa dari Ibunda dan keluarganya tercinta. Juga dukungan tulus
dan luar biasa dari istri dan anaknya selama belajar di CGSC di Amerika. Semua
ini memungkinkan Alzaki untuk selalu berada pada state yang happy, walaupun ia
kerap mengalami kesulitan dan tantangan yang luar biasa.
Prinsip hidup Alzaki adalah menghindari ANT.
Bukan semut yang dia mau hindari, tetapi automatic negative thoughts. Secara
tidak sadar berpikir negatif karena tuntutan untuk survive. Alzaki secara sadar
mau selalu gembira.
Di tengah tekanan yang luar biasa kerena
mengambil tiga program sekaligus di Amerika (profesornya pun bilang jangan),
saya bertanya ke Alzaki apa hal paling stres yang harus dihadapi selama di
Amerika. Alzaki bilang pengalaman paling frustasi adalah printer yang macet.
Itu saja. Tidak ada yang lebih. State of mind-nya selalu happy.
Bahagia terus. Mayor Inf Alzaki adalah cerita di mana hati yang gembira telah
menjadi pendorong prestasi dan pencapaiannya.
Salah satu oleh-oleh yang saya beli di kantor
Zappos adalah buku The Happiness Advantage yang ditulis oleh Shawn
Achor. Happiness Course ini telah diajarkan di Harvard University
sejak tahun 2006 dan popularitasnya langsung melejit (1 dari 6 siswa Harvard
mengambil course ini), saking banyaknya minat untuk belajar bagaimana bisa
bahagia. Padahal banyak yang berpikir kalau sukses akademis dengan bisa kuliah
di Harvard otomatis akan bahagia. Ternyata tidak.
Begitu banyak contoh di buku ini yang menunjukkan
bahwa mood yang positif dan gembira membawa dampak positif ke prestasi kerja
dan kreativitas. Dokter dengan mood positif, misalnya, menunjukkan
intelegensi dan kreativitas 3x lipat dari dokter dengan mood yang normal.
Diagnosanya juga 19 persen lebih cepat. Salespeople yang mood-nya
positif menjual 56% lebih banyak daripada salespeople yang pesimis.
Sayangnya, masih saja banyak manajer dan
entrepreneur memegang teguh kepercayaan bahwa sukses akan membawa kebahagiaan,
bukannya sebaliknya. Kebahagiaan karyawan dianggap tidak relevan dalam bisnis,
bahkan ada yang menganggapnya sebagai kelemahan, atau tanda bahwa kita tidak
bekerja cukup keras.
Seperti yang telah ditunjukkan oleh Mayor Inf
Alzaki, Gerald Mazur, dan Zappos, mereka sanggup mendayagunakan energi positif
dan menunjukkan bahwa sukses ada di orbit kebahagiaan, bukannya sebaliknya.
Implikasinya buat investor saham adalah untuk
core holding jangka panjang kita, salah satu aspek yang perlu kita lihat adalah
apakah karyawan perusahaan tersebut happy dan apakah manajemen
mempunyai komitmen untuk membawa happiness ke internal dulu baru ke
eksternal? Karena tidak mungkin karyawan yang tidak happy akan
berusaha keras membuat happy customer perusahan?