The measure of a leader is not the number of people who serve him,
but the number of people he serves.
– John C. Maxwell.
“Pa, boleh kan aku jalan-jalan weekend
ini? Kemarin baru saja diajak oleh teman satu kelas. Rencana mereka
pergi hari Sabtu, seharian.”
Sedikit saya menyeletuk saat sedang sarapan pagi dengan orang tua.
“Jangan dulu…
nanti saja ya? Kamu jangan lupa, Sabtu pagi kamu harus kerja. Ingat, bantu Papa
di kantor,” jawab Ayah saya sambil menghirup kopi kesukaannya.
Dahulu, saat saya masih seorang pelajar, memori paling terkenang
dalam benak adalah tentang percakapan dengan beliau.
Meminta izin untuk pergi hang
out.
Tidak sekali, atau dua kali, saya mendapat jawaban yang sama.
Sering.
Singkat cerita, Ayah saya merupakan seorang pedagang dan penerbit
buku. Tiap akhir pekan saya diajak bekerja di kantornya untuk ‘membantu’
menjalani usaha.
Saat itu saya masih di sekolah dasar. Cukup muda.
“Yuk,
kerja bantu kita! Setelah itu kamu baru diijinkan pergi,” dengan tersenyum Ia
mengingatkan.
Di saat itu, saya tidak mengerti alasan dari jawaban beliau.
“Membantu apa? Bukannya ada karyawan di kantor?“ Begitulah
pendapat saya yang masih lugu.
“Oh! Papa sudah titip pesan ke karyawan di gudang. Kamu bantu cek
barang, oke?... Jangan lupa lihat bagian produksi, agar karyawan kantor kenal
sama kamu. Bantu packing,
bantu labelling,
banyak sekali yang bisa kamu bantu… Kalau suatu hari kamu mau jadi pemimpin, di
manapun kamu bekerja, kamu coba mulai dari yang paling bawah,” papar beliau.
Dari paling bawah. Hmm.
“Oke,” jawab saya.
Dahulu, sebagai seorang anak kecil dengan imajinasi tinggi, wajar
jika sebuah kata ‘mulai dari bawah’ itu seperti jauh (!) sekali.
Ibarat naik anak tangga yang tidak kelihatan garis finish-nya.
Membantu dari pekerjaan yang paling manual, memang kedengarannya seperti tidak
efektif. Pikir saya, jika tidak hadir Sabtu ini, seharusnya tidak akan ada
perbedaan yang signifikan buat performa kantor.
Namun, apa boleh
buat?
Walaupun berat hati, saya tetap menjalani apa yang beliau
perintahkan. Lagipula beliau adalah orang tua. Saya harus menuruti.
Jujur, terkadang ada hari ketika saya mengeluh juga.
Teringat, setiap akhir pekan atau libur sekolah saya justru masuk
kerja jam 8 pagi untuk bekerja.
Saya ambil satu kursi plastik, duduk di gudang di antara pekerja
di kantor Ayah. Apapun saya coba lakukan.
Saya tanya mereka “Mas, Mbak, saya bisa bantu apa hari ini?”
Dengan senang hati mereka selalu mengajarkan. Mereka tidak segan-segan
meluangkan waktu untuk melatih saya yang masih sangat muda.
Memang terkesan mudah, tapi pekerjaannya cukup menyibukkan. Sering
saya lupa waktu.
Terkadang bantu packing
barang. Terkadang cek jumlah pengiriman. Berkenalan dengan supplier. Wah banyak deh! Saya
cukup menikmatinya.
Tak terasa, hari demi hari saat berlibur, atau setiap weekend, saya terus
melakukan hal yang sama. Lalu diberikan tugas yang lebih rumit keesokan
harinya. Naik level, pikir saya.
Perlahan, saya terus naik anak tangga dalam imajinasi.
Sekian tahun berlalu, pegawai kantor yang dulu hanyalah orang
asing, sekarang menjadi sahabat-sahabat saya.
Mereka senang sekali kalau saya datang pagi hari untuk membantu,
walaupun hanya dengan tenaga satu orang saja.
‘Merasa dilayani,’ kata mereka.
-
“Janganlah malu untuk mengerjakan hal-hal yang paling remeh
sekalipun… Ingatlah, menjadi pemimpin itu bukan berarti kamu duduk-duduk
santai. Sama sekali bukan. Menjadi pemimpin berarti kamu yang melayani orang
yang dipimpin,” kata Ayah.
Sekarang ini, kata-kata tersebut terasa sangat berharga, menjadi
bekal untuk masa depan. Saya tidak pernah lupa kata-kata beliau.
Dalam buku “Good-to-Great”,
penulisnya, Jim Collins mengatakan: ada banyak sekali perusahaan baik, tetapi
hanya sedikit perusahaan hebat.
Apa bedanya?
Jim menjelaskan, berdasarkan hasil riset perusahaan Fortune 500 di Amerika
Serikat, pada kurun waktu tertentu, kunci dari perusahaan hebat yaitu (salah
satunya) dimulai dari seorang pemimpin.
Level 5 Leader, kalau kata Jim.
Seorang Level 5
Leader tahu tentang kerendahan hati; turun ke anak tangga paling
bawah dan mulai dari sana. Secara detail, mereka mengerti seperti apa proses
kerja perusahaan yang dipimpinnya.
Menurut Jim, pemimpin hebat sangatlah ambisius bekerja, tidak
punya agenda tersembunyi, dan semua ambisinya hanyalah untuk kesuksesan perusahaan.
Seperti anak tangga, pemimpin hebat juga secara bertahap menimbang
performa perusahaan. Daripada memberi target perusahaan yang luar biasa tinggi
(tumbuh 7 kali lipat dalam setahun, misalnya), mereka cenderung menargetkan mini goals dan berpikir
bagaimana cara memenuhi goals tersebut.
Mereka tidak menepuk dada jika berhasil. Malahan mereka menunjuk
anggota timnya. Sebaliknya, saat terjadi kesalahan, mereka menunjuk diri
sendiri dan segera memperbaiki kelalaian.
Pegawai bukanlah sekadar pegawai,
melainkan sahabat bagi pemimpin tersebut.
Tahukah Anda? Hanya segelintir dari antara mereka, tetapi entah
mengapa perusahaan mereka cenderung mengalami performa yang luar biasa.
Malahan, mereka melejit disaat kondisi industrinya terpuruk.
Darwin E. Smith pemimpin dari Kimberly-Clark,
atau David Maxwell dari Fannie
Mae adalah salah satunya. Jika ditarik garis lurus dari saat mereka
menjabat sampai tahun 2000, performa saham mereka mengalahkan S&P 500 delapan kali lebih baik!
Jangan lupa, dahulu S&P 500 sudah naik hampir 15 kali lipat sejak tahun
1950 sampai tahun 2000.
Sekilas, ini ternyata yang Ayah saya coba ajarkan selama ini.
Melihat ke belakang, saya semakin mengerti, karakter dan visi pemimpin itu
penting untuk masa depan sebuah perusahaan.
Sama hal-nya dengan investasi. Pernahkah Anda membaca atau
mengenal karakter dari pemimpin perusahaan yang Anda beli?